Sabtu 13 Juli 2019, 05:05 WIB

Cara Sapardi Berterima Kasih

Tosiani | Weekend
Cara Sapardi Berterima Kasih

MI/Caksono
Judul buku: Menghardik Gerimis

 

SELALU banyak kejut­an tiap kali membaca tulisan-tulisan dari penyair Sapardi Djoko Damono. Hal itu juga terjadi dengan buku teranyarnya yang berjudul Menghardik Gerimis. Buku ini diluncurkan pada Sabtu (29/6), ditampilkan sekumpulan cerita pendek (cerpen) yang seringkali benar-benar pendek. Dalam satu cerpen hanya berisi satu atau dua paragraf saja. Paling panjang hanya di kisaran enam sampai delapan paragraf. Cukup singkat.

Sapardi seperti ingin mengatakan bahwa menulis itu mudah, menulis itu sederhana dan tidak perlu pakai ribet. Ada juga dia memberi kesan menulis itu menyenangkan. Sebuah karya sastra tidak mesti harus membentuk narasi besar dalam wujud cerita seperti pada lazimnya.

“Yang penting menulis,” jadi­nya seperti apa, bisa dipahami atau tidak, itu adalah karya. Dan tiap penulis punya gaya bercerita yang berbeda. Pun juga dengan bahasa yang berbeda pula. Melalui cara bertutur demikian, Sapardi seperti ingin meretas ide, memacu semangat, dan keinginan pembaca untuk menulis, dengan cara paling sederhana sekalipun.

Di dalam buku terbarunya ini, Sapardi banyak bercerita secara abstrak, seperti sedang bercakap dengan dirinya sendiri, berbincang dengan hati dan pikirannya sendiri. Ia bertutur tentang apa saja yang ia lihat, ia dengar, dan rasakan. Seperti saat pengalaman berada di dalam lift meski hanya beberapa baris tulisan saja. Ia menuliskan pemikirannya tentang demons­trasi, pengalaman naik kereta rel listrik (KRL), dan gerutunya saat dihadang kemacetan.

Sesekali ia merajuk memberi sentuhan romansa tentang hujan dan tentang gerimis. Ia seperti ingin menyampaikan bahwa apa saja bisa jadi tulisan, apa saja bisa diceritakan. Meski itu jalan dan layang-layang.

Terlalu banyak judul tulisan dan semuanya pendek-pendek membuat buku ini mudah dibaca secara sambil lalu saja. Terkadang memang membosankan karena nyaris tidak ada alur. Untuk mengatasi kebosanan, pembaca bisa meloncat dari satu judul ke judul lain, atau bisa membaca dari belakang, depan, lalu tengah pun tidak masalah karena setiap cerita tidak sa­ling berhu­bung­an.

Namun demikian, kelebihan dari buku ini ditulis dengan tata bahasa yang hampir tanpa cela. Rangkaian kalimat mengalir begitu saja, lancar dengan bahasa yang sederhana. Ini menunjukkan penulis amat piawai berkisah.

Penulis tamu

Buku ini berisi 38 judul ce­rita, dengan empat di antaranya ditulis penulis tamu. Yakni cerita berjudul Meditasi Sunan Kalijaga tulisan Nano Riantiarno di halaman 20, kisah berjudul Saksi karya Afrizal Malna di halaman 32, Dongeng Rama dan Sita ditulis Mas Don di halaman 44, dan Bis Kota karya Gunter Wilhelm Grass di halaman 64.

Beberapa cerita lainnya di­selipkan di buku ini merupakan cerita lama dari Sapardi yang sudah cukup populer. Seperti kisah Dalam Tugas tentang seorang wartawan perang yang gamang menyaksikan seorang tahanan politik ditembak mati oleh tentara tepat di depan matanya. Cerita dalam empat paragraf ini sudah ditampilkan dalam buku-buku Sapardi sebelumnya.

Juga cerita berjudul Kalender dan Jam juga merupakan cerpen lama Sapardi yang ditulis pada 22 April 2000. Tulisan dalam delapan paragraf ini mengisahkan kegalauannya pada Sang Waktu yang dijalani dalam proses kehidupan menuju kematian atau akhir dari kehidupan, yakni dengan menampilkan dialog epik antara kalender dan jam.

Cerpen lama lainnya yang dimunculkan lagi di buku ini berjudul Di Bawah Bulan ditulis pada 2000. Pada cerpen ini Sapardi menceritakan tentang tukang sulap yang duduk di bangku taman di bawah cahaya bulan, hanya dengan tiga paragraf.

Kontemplasi

Hal yang berbeda dari buku Sapardi kali ini tidak lagi bercerita tentang keindahan. Namun, lebih pada perenungannya tentang perjalanan hidup, tentang segala sesuatu yang dilihat, didengar, dan dialami. Sapardi juga menceritakan kontemplasinya tentang kemanusiaan. Seperti pada kisah berjudul Adam. Ia memaparkan sudut pandang yang berbeda mengenai kisah legenda cinta Adam dan Hawa yang diyakini sebagai sesepuh umat manusia.

Secara umum cerita-cerita Sapardi dalam buku ini menunjukkan kebijaksanaan pemikiran dan hatinya. Sapardi yang bisa mengerti dan memaklumi banyak hal tanpa perlu mempertanyakannya lagi. Seolah Sang Penulis merupakan sosok pribadi yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Dengan demikian ini merupakan karya paripurna Sapardi bagi jiwa yang bijaksana.

Pada akhir buku ini, Sapardi lebih banyak menulis ungkapan tentang maaf dan terima kasih, entah pada siapa. Namun pada tulisan Testamen, saat bercerita tentang anjing kampung, ia menyinggung mengenai sesuatu yang ia wariskan terakhir kali. Ia juga menyebut ungkapan bernada perpisahan seperti pada kalimat, “Terima kasih, kau telah membantu menyelesaikan tugasku di dunia dengan sebaik-baiknya.” (M-4)

Baca Juga

Sexual Medicure Center

Tak Hanya Pengaruhi Kemampuan Seksual Pria, Wanita juga Bisa Impoten karena Diabetes

👤Media Indonesia 🕔Senin 05 Juni 2023, 13:05 WIB
Selama ini banyak yang menyangka impotensi akibat diabetes hanya banyak terjadi pada pria. Padahal, kondisi serupa ternyata juga bisa...
CHRISTOPHE DELATTRE/AFP

Sambut Olimpiade, Paris Gelar Festival Seni Malam Hari

👤Adiyanto 🕔Minggu 04 Juni 2023, 19:39 WIB
Kegiatan ini sekaligus untuk menyambut Olimpiade yang akan dihelat di kota itu tahun...
Medine Plus

Komplikasi Diabetes Lebih Fatal pada Wanita Dibanding Pria

👤Media Indonesia 🕔Minggu 04 Juni 2023, 15:46 WIB
Efek diabetes pada wanita lebih buruk dibandingkan pria. Salah satunya karena perubahan hormon seperti saat menstruasi hingga menopause...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya