Headline
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
Pelaku perusakan dan penganiayaan harus diproses hukum.
MENJADI pandita dan menyandang nama Ida Pandita Empu Jaya Prema bukanlah hal yang mudah bagi Putu Setia. Ia ialah jurnalis senior Tempo yang terbiasa bebas bergaul dan bepergian ke mana saja. Kini, ia telah jadi pandita yang tidak boleh lagi tersangkut urusan dunia.
Namun, pria berusia 68 tahun ini mengakui bagian tersulit dari melepaskan ikatan dengan dunia bukanlah tentang kebebasan yang terenggut, melainkan trauma masa lalu yang masih menghantuinya.
Empu, demikian sapaannya saat ini, mengenyam pendidikan di bangku SMP saat tragedi G-30-S/PKI terjadi. Ia lahir di keluarga yang berafiliasi dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang bersaing ketat dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Bali. Pembantaian PKI oleh ormas-ormas yang lebih terafiliasi PNI saat itu menjadikan masyarakat Bali terpecah dua, antara pembantai dan yang dibantai, pembantaian terjadi hingga desa-desa kecil dan dilakukan pemuda-pemuda yang bahkan masih duduk di sekolah menengah.
Tragedi tersebut merupakan salah satu masa terkelam Bali yang meninggalkan trauma mendalam pada sebagian masyarakat Bali hingga saat ini. Menyaksikan hal tersebut secara langsung, pelaku maupun korbannya merupakan orang-orang yang ia kenal, teman main, hingga kerabat membekaskan ingatan yang menurutnya sangat sulit untuk diajak berdamai.
“Kelas 3 SMP sekolahnya diliburkan, saya melihat dengan mata kepala sendiri (pembantaian PKI), bahkan ikut terlibat meski tidak aktif, saya dari keluarga PNI. Trauma sekali,” ujar Empu Jaya Prema saat diwawancara khusus oleh Media Indonesia di Bentara Budaya Bali, Kamis (30/5).
Empu Jaya Prema yang lahir di Tabanan, April 1951 itu menggunakan media tulisan sebagai bentuk penyaluran traumanya. Di sela prosesi demi prosesi yang harus ia jalani untuk menjadi sulinggih, ia pun menuliskan sebuah memoar semifiksi yang menuangkan kegelisahannya pada trauma masa lalu itu secara detail. Sulinggih adalah orang yang telah mendapatkan penyucian melalui upacara yang disebut Madiksa.
“Sebenarnya ini lebih kepada pribadi saya, sebenarnya saya trauma pada masa-masa itu. Jadi trauma itu harus saya lontarkan, harus saya tulis.
Untuk menghilangkan traumatis ini saya harus ceritakan,” lanjut sang empu itu secara terbuka.
Peristiwa traumatis itu telah terjadi 43 tahun yang lalu. Semenjak kejadian itu pun ia telah melalui banyak hal, juga telah menjadi pemuka agama Hindu Bali yang disucikan. Namun, ia terus menyaksikan bahwa perpecahan dua kubu semacam itu terus berulang dan menimbulkan korban, bahkan hingga hari ini.
Lentera Batukaru, judul dari memoar novel yang ia tuliskan sebagai upaya untuk berdamai dengan trauma masa lalu. Selain itu, dia juga punya tujuan sebagai bentuk pembelajaran agar sejarah kelam itu tidak lagi terulang.
Sejarah dengan tinta merah
Dalam kapasitasnya saat ini sebagai sulinggih, ia mengutarakan saat menulisnya ia berupaya menjadi pihak yang netral, yakni pihak yang merefleksikan kejadian tersebut dengan lebih bijak dan minim distorsi subjektif. Ia mengaku tidak lagi marah ataupun dendam dengan tragedi nahas yang terlanjur dicatat sejarah dengan tinta merah itu. Ia pun membuat versi semifiksi, yakni dengan menyamarkan beberapa nama dan lokasi, dalam rangka menyamarkan nama-nama yang terlibat yang hingga saat ini masih hidup dan kenal baik dengannya.
Jurnalis senior yang juga pelaku sejarah, Wibminarko yang hadir dalam acara peluncuran Lentera Batukaru di Bali, pada saat yang sama memberikan validasi atas akurasi detail peristiwa G-30-S/PKI yang diuraikan Empu Jaya Prema tersebut dalam Lentera Batukaru.
“Saya berkesimpulan, apa yang diuraikan pra-G-30-S/PKI di Bali, itulah yang terjadi,” ucap pria yang akrab disapa Wib itu.
Sementara itu, jurnalis senior lain yang turut menjadi narasumber dalam acara tersebut, Wayan Westa menyoroti gaya penulisan yang lebih condong pada pakem jurnalistik yang dipakai Empu membuat buku tersebut ringan dibaca meski mengangkat tema yang cukup berat.
Hadirkan pilihan ketiga, keempat, dan kelima
Secara tersirat dan tersurat, Empu Jaya Prema atau Putu Setia mengkritik pedas fenomena dua kubu yang kerap terjadi pada perpolitikan Indonesia.
Memecah belah masyarakat dan dua afiliasi tanpa opsi untuk memilih pilihan di luar keduanya menimbulkan perpecahan yang runcing dan rentan eskalasi konflik.
“Sebenarnya tidak boleh terulang, tapi ini kan terulang terus. Ketika 1965 itu kan PKI kalah, PNI yang menang, dihancurin kan. Ketika 1971, PDI kalah karena golkar, dihancurin juga, sejarah berulang terus,” ujar Putu.
Menurutnya, polarisasi yang cenderung terjadi ketika dua kekuatan besar bertarung di level elite, sangat mungkin memicu konflik di level akar rumput. Konflik mudah tereskalasi seiring meruncingnya perbedaan.
Polarisasi politik dipandang Putu bukanlah skenario yang elok dimainkan dalam kancah politik di negara majemuk seperti Indonesia. Menulis memoar novel Lentera Batukaru juga merupakan salah satu upayanya untuk menyadarkan generasi saat ini dan di masa depan akan pentingnya akrab dengan berbagai macam afiliasi dan perbedaan. (M-4)
Buku ini hadir sebagai respons atas fenomena pencucian uang yang tidak lagi mengenal batas geografis dan sering kali tak tersentuh oleh hukum nasional yang lemah atau lamban.
Buku yang ditulis Kelly Tandiono tersebut terinspirasi dari pengalaman pribadinya saat pertama kali menyelam pada 2011.
Buku, disebut Dedi, merupakan medium yang efektif untuk memperkenalkan kecintaan terhadap alam Indonesia kepada anak-anak, sekaligus menumbuhkan empati terhadap lingkungan.
STAF Sumber Daya Manusia Polri (SSDM Polri) meluncurkan buku berjudul Policing in Indonesia.
Lebih dari sekadar karya tulis, buku karya Connie Rahakundini Bakrie ini adalah seruan dan ajakan untuk membangkitkan kesadaran kolektif bangsa akan makna sejati berbangsa dan bernegara.
Hingga Juni 2024, telah disalurkan 490 Al-Qur’an dan 13.790 buku tulis ke sekolah-sekolah dasar di wilayah Tangerang.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved