Headline

RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Kuota Tangkap untuk Kelestarian Ikan Mahakam

Eno/M-1
11/5/2019 03:10
Kuota Tangkap untuk Kelestarian Ikan Mahakam
Murid-murid di Desa Long Tuyoq tengah mengikuti arahan di sekolah.(MI/RETNO HEMAWATI)

SEBUTAN ikan tebelak atau tebelaq mungkin kurang akrab di telinga kebanyakan masyarakat. Itulah sebutan yang dikenal masyarakat sekitar Sungai Mahakam, Kali­mantan Timur, bagi ikan mahseer yang berada dalam genera Tor dan masih kerabat ikan mas.

Ikan tersebut jadi salah satu menu favorit di meja makan. ­Tidak mengherankan selain rasanya yang gurih, dagingnya yang kenyal juga mudah kering jika digoreng. Berbeda dari ikan mas yang lebih basah.

Sayang, kini ikan yang juga jadi bahan konsumsi cukup mahal di Malaysia itu susah didapat. “Itu karena terjadi penangkapan besar-besaran dalam jangka waktu lama,” jelas Arbiansyah Jueng, relawan WWF Indonesia yang bertugas di Mahakam saat kunjungan media ke lokasi tersebut, Jumat (3/5). Penangkapan dilakukan warga bukan hanya untuk kebutuhan sendiri, melainkan juga dijual karena bernilai tinggi.

“Ikan tebelak memang rasanya enak, harga jualnya tinggi. Untuk orang lokal bisa dijual Rp500 ribu hingga Rp700 ribu per kilogram. Kalau di luar negeri bisa lebih jauh dari itu,” kata Lawing Lejau, warga Desa Long Tuyoq. Desa yang dikunjungi tim WWF Indonesia- Heart of Borneo bersama media.

Tidak hanya tebelak, mamalia endemik pesut mahakam (Orcaella brevirostris), bahkan sudah terancam punah. Diperkirakan populasi pesut mahakam yang tersisa di wilayah Kutai Kartanegara hanya tersisa sekitar 80 individu. Kematian pesut juga disebabkan karena merosotnya jumlah ikan yang menjadi makanan mereka.

Jenis ikan yang kini masih cukup berlimpah di Sungai Mahakam, antara lain pulutan, jelawat, kendia, kalibere, ikan mas, lais, belida, repang, maser, salap, bagarius, baung, dan patin.

Belajar dari overfishing terhadap tebelak, warga memberlakukan pembatasan penangkapan secara mandiri. Hal ini pula yang dijalankan di Long Tuyoq, sebuah desa di hulu Sungai Mahakam, Kecamatan Long Pahangai yang tergabung dengan Kabupaten Mahakam Ulu, Kalimantan Timur.

Desa ini ialah salah satu dari ratusan desa yang penduduknya mendiami bagian kanan dan kiri Sungai Mahakam. Jika dibandingkan dengan desa lainnya, Long Tuyoq termasuk desa yang berpo­pulasi cukup besar karena memiliki sekitar 500 penduduk.

Desa ini bisa diakses dengan menggunakan speed boat selama satu jam dari Long Nunuk. Long Nunuk bisa diakses menggunakan menumpang pesawat kecil selama dua jam dengan sekitar 15 penumpang dari Bandara Aji Pangeran Tumenggung (APT) Pranoto Samarinda.

Dengan jarak yang relatif jauh dari perkotaan dan pusat perbelanjaan, warga setempat banyak mengandalkan hasil sungai. Sayuran merupakan barang langka yang terhidang di meja makan. Jika ada, mahal harganya. Seikat kangkung dan sawi kurang dari setengah kilogram biasa ditebus dengan harga Rp5.000. Tak meng­herankan jika mereka mengandalkan ikan sungai.

Adat

Aturan pembatasan penangkapan diberlakukan dewan adat setempat. Warga hanya boleh mengambil ikan seperlunya, tidak boleh berlebihan dan cukup untuk dikonsumsi sendiri.

Kepala Seksi Kesejahteraan Pemerintah Kampung Long Tuyoq, K Kawit Tekwan, menerangkan demikian, “Ikan boleh saja diambil sedikit lebih banyak jika memang ada keperluan untuk pesta perka­winan, adat kematian, atau apa saja yang intinya digunakan untuk kepentingan banyak orang,”.

Pemerintah desa juga mengizin­kan warga desa lain menangkap ikan di daerahnya. “Asal harus izin terlebih dahulu pada pemerintah desa. Itu pun dengan perjanjian tidak boleh menangkap secara berlebihan, hanya cukup saja,” katanya menambahkan.

Meski demikian, pembatasan penangkapan ini tidak memiliki kuota kilogram, tetapi hanya berdasarkan penilaian kewajaran untuk konsumsi keluarga.

Relawan WWF Indonesia Arbiansyah menambahkan, jika warga juga memiliki konsep konservasi sungai yang diinisiasi Hipui (raja) Liah Liong pada 1894-an. Dia telah mengatur, setiap orang atau kapal yang masuk ke Sungai Tepat (anak Sungai Mahakam) harus diperiksa. “Sangat teliti, bahkan ujung dayung yang terdapat besi dilarang karena bisa membunuh ikan, juga tidak boleh menebang pohon di sekitaran sungai karena bagian pohon, baik biji, buah seperti buah laran, dan daunnya merupakan makanan ikan,” jelasnya.

Cara-cara tradisional itu masih banyak diterapkan penduduk setempat. Mereka masih tetap menggunakan cara-cara lama, memancing, menangkap ikan menggunakan bubu (perangkap), atau menembak dengan alat tradisional. “Orang boleh saja menjala, tapi jala itu juga diatur, tidak boleh terlalu kecil lubangnya sehingga bibit-bibit ikan masih bisa lolos melewati ­jaring dan hidup.”

Ekosistem Sungai Mahakam saat ini menghadapi ancaman karena berbagai macam hal. Arbi juga mengungkapkan perilaku membuang sampah di sungai sudah lama dibiarkan. “Tapi kini muncul kesadaran baru untuk membuang sampah di tempat-tempat yang ditentukan. Baru sampai pada tahap itu. Pemerintah setempat sebetulnya juga sudah melakukan pelarangan pembuangan sampah di sungai,” katanya.

Selain sampah, sebagian penduduk hulu dan hilir sungai juga melakukan penangkapan ikan secara ilegal. Cara yang digunakan ialah menangkap ikan dengan cara menyetrum dan meracun ikan. “Cara-cara inilah yang kemudian diduga menjadi penyebab hampir punahnya lumba-lumba air tawar atau yang sering disebut dengan pesut mahakam,” pungkasnya. (Eno/M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya