Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
SOSOK Sakdiyah Ma’ruf mungkin sudah tidak asing lagi bagi para pencinta stand up comedy. Bahkan, kepopulerannya tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga mancanegara.
Ia dikenal lantaran materi yang ia bawakan acap mengedepankan ‘perlawanan’ terhadap isu-isu yang melawan paham ekstremisme sekaligus memperjuangkan kesetaraan perempuan. Materi-materi itu menjadi kian unik karena disampaikan seorang perempuan keturunan Arab yang berasal dari lingkungan konservatif.
Berkat kepiawaiannya melontarkan humor cerdas, Sakdiyah telah mendapat sejumlah apresiasi, termasuk predikat 100 Perempuan Inspiratif dan Berpengaruh versi BBC (BBC 100 Women 2018) yang diumumkan pada November.
Kepada Media Indonesia, Sakdiyah berbagi soal motivasinya ‘melawan arus’ dalam berguyon, juga pandangannya terhadap kondisi perempuan dan perpolitikan Tanah Air dewasa ini. Berikut petikan wawancara eksklusif yang dilakukan di kediamannya di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, Kamis (18/4).
Akhir tahun lalu, Anda masuk daftar 100 Perempuan Inspiratif dan Berpengaruh versi BBC. Apa maknanya buat Anda?
Sangat dalam. Pertama, reminder tentang apa yang selama ini sudah saya lakukan dan apa yang harus saya lakukan ke depannya. Saya merasa mendapatkan dukungan yang besar. Artinya, terlepas dari berbagai macam komentar negatif yang saya terima, insya Allah saya sudah on the right track di profesi saya sebagai stand up comedian dan misi yang saya bawa dalam berkomedi.
Saya juga merasa bangga dan bahagia karena bisa mewakili Indonesia sebagai satu-satunya orang Indonesia di daftar itu. Ini tanggung jawab yang sangat besar. Artinya, saya harus lebih keras lagi bekerja dalam profesi saya agar impaknya semakin besar. Bukan untuk saya, saya menjadi stand up comedian bukan untuk popularitas, melainkan untuk kemajuan perempuan.
Yang ketiga, pada April, saya baru melahirkan anak perempuan dan pada saat itu saya masuk daftar BBC 100 Women. Jadi, itu mengingatkan saya bahwa apa pun halangannya, saya harus tetap bekerja untuk anak saya, anak-anak perempuan Indonesia lain, dan mudah-mudahan bisa seluruh dunia di masa depan.
Bagaimana Anda melihat kondisi para perempuan di Indonesia saat ini?
Sangat membanggakan, misalnya, ada sembilan menteri perempuan di kabinet saat ini, di posisi-posisi yang strategis. Menteri Keuangan Sri Mulyani tiga kali berturut-turut menjadi menteri keuangan terbaik. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berhasil membuat Indonesia menjadi salah satu Anggota tidak Tetap Dewan Keamanan di PBB. Itu salah satu hal yang positif bagi perempuan Indonesia saat ini.
Namun, kita jangan lupa, beliau-beliau ialah kalangan elite. Di bawah, kita melihat perempuan masih berhadapan dengan kasus kekerasan, misalnya. Kekerasan terhadap perempuan makin meningkat. Beberapa tahun lalu, statistiknya ialah satu di antara lima perempuan akan mengalami kekerasan sepanjang hidupnya. Saat ini riset terbaru justru menunjukkan satu dari tiga perempuan akan mengalami kekerasan dalam hidupnya, seperti kekerasan seksual atau tekanan di lingkungan kerja.
Kita melihat buruh, misalnya, belum mendapatkan hak cuti hamil dan cuti melahirkan. Kita lihat juga pernikahan dini. Indonesia tengah bergerak maju. Namun, di banyak daerah karena alasan tradisi atau interpretasi agama, pernikahan dini sedemikian dikampanyekan baik di tengah-tengah masyarakat ataupun di media sosial.
Jadi, sangat disayangkan masih ada berbagai situasi yang membuat kita tidak boleh lengah. Harus terus berjuang demi kehidupan, demi kesetaraan, juga demi perempuan yang dapat mewujudkan potensi diri terbaiknya.
Apa Anda punya pengalaman pribadi soal ketidaksetaraan tersebut?
Kegelisahan saya ialah apa yang saya saksikan di komunitas saya. Saya tumbuh besar di komunitas keturunan Arab di Pekalongan, Jawa Tengah. Di sana, problem pernikahan dini itu masih sangat banyak dipraktikkan. Sampai tahun ini saja, saya menerima undangan pernikahan yang mempelai prianya dokter dan mempelai perempuannya baru lulus SMP atau baru lulus SMA.
Ini bagian dari kegelisahan saya, termasuk juga persoalan kekerasan pada perempuan, domestikasi, semuanya ialah persoalan-persoalan riil yang saya lihat di komunitas saya. Yang kemudian juga menjadi concern saya ialah ketika saya kuliah, hal-hal di komunitas saya itu ternyata juga dipraktikkan secara luas di Indonesia. Kita melihat lagi-lagi pernikahan dini banyak dikampanyekan di media sosial. Domestikasi berbalut agama kalau menurut saya.
Perempuan banyak diglorifikasi untuk menjadi pengatur rumah tangga, diam di rumah, mengurus anak, dan mengurus rumah tangga. Ada juga stigmatisasi terhadap perempuan yang bekerja dan berkarya.
Itu yang memotivasi Anda mengangkatnya ke panggung?
Ketika materi-materi itu dianggap kontroversial, bagi saya, apa yang menjadi aspirasi saya itulah yang saya bawakan di panggung. Jadi, tidak ada niatan sengaja mengundang kontroversi atau mengundang perhatian. Harus ada yang bicara soal isu-isu ini dengan cara berbeda.
Aktivis sudah banyak berbicara, orang-orang di pemerintahan, para politikus, dan seniman dengan berbagai karyanya sudah banyak yang berbicara. Saya ingin menawarkan medium yang efektif untuk berdialog tentang isu-isu yang sayangnya masih dianggap sensitif oleh masyarakat kita.
Kenapa di Indonesia dianggap sensitif? Karena saya kira menerobos ruang-ruang privat. Persoalan rumah tangga, persoalan keluarga, kekerasan, bagaimana suami memperlakukan istri, bagaimana kita mempraktikkan apa yang kita yakini sebagai umat beragama. Hal-hal tersebut kan sangat pribadi dan emosional. Artinya, berangkat dari perasaan dan keyakinan yang dianggap tidak boleh diusik.
Ketika hal itu terus dianggap tidak boleh diusik, yang menjadi korban ialah perempuan. Kekerasan dalam rumah tangga dianggap tidak ada saja karena suami dan istri tidak boleh membicarakan apa yang terjadi behind the close door. Membicarakan rumah tangga itu tabu misalnya, termasuk soal pernikahan dini, perjodohan ialah tabu. Apalagi, hal itu terjadi dengan bungkus ‘ini ajaran agama’, seolah-olah ini ialah paling benar dan satu-satunya, padahal kita bisa mendiskusikannya sebagai salah satu interpretasi ajaran agama. Humor, mudah-mudahan jadi medium yang efektif karena kita bisa jadi lebih terbuka dengan cara yang lebih halus dan tidak langsung tunjuk hidung.
Apa tanggapan lingkungan Anda terhadap materi lelucon Anda itu?
Keluarga saya sesungguhnya mendukung, senang anaknya berkarya. Namun, ibu saya secara spesifik selalu mengingatkan jangan pernah membawa topik-topik yang berkaitan dengan Islam atau kehidupan muslim karena ‘kamu tidak tahu apa-apa tentang itu karena bukan ahli agama’.
Kemudian, saudara saya juga mengingatkan bahwa apa yang saya sebut sebagai fundamentalisme itu tidak seburuk yang saya sampaikan. Ada juga tanggapan dari keluarga besar dan saling mengingatkan.
Selain apresiasi, dalam keseharian, ada yang istilahnya silent disagreement. Jadi, di komunitas kami, ada untungnya cara pandang yang kita anggap konservatif bahwa perempuan dianggap tidak punya hak atas dirinya. Yang punya hak atas diri perempuan ialah ayahnya dan setelah menikah, suaminya.
Dalam kasus saya, saya seperti menang lotre ketika mendapat suami yang sangat amat mendukung berkarya dan keluarga saya pun konsisten dengan yang mereka yakini, yaitu perempuan ialah hak suaminya. Ketika suaminya mengizinkan, ya sudah, mereka tidak berhak.
Apakah Anda tertarik memperluas isu lelucon Anda?
Saya merasa belum mampu, tapi saat ini sedang ingin bereksplorasi dan sangat ingin tampil di panggung membawakan political satire. Kondisi politik kita saat ini saya kira membungkam komedian. Para politikus saking lucunya bagaimana lagi kita mau menyaingi tingkah pola yang sangat luar biasa dan bagaimana mereka ‘memasarkan diri’.
Political satire penting untuk dihidupkan lagi di Indonesia dalam situasi demokrasi kita yang sekarang. Penting untuk melihat humor sebagai pilar kelima demokrasi. Saya mengusulkan ini dalam beberapa forum misalnya, betapa humor itu penting merefleksikan kondisi bangsa juga membantu kita berdialog dengan lebih terbuka, tetapi tidak mengarah ke debat kusir yang mengarah kepada konflik berkepanjangan di berbagai platform media sosial. Penting untuk melihat lagi urgensi humor dan saya merasa materi yang saya bawakan, selain lebih banyak isu perempuan dan politik, semoga bersama-sama membantu mendorong percepatan demokrasi kita ke arah kematangan.
Soal politik, bagaimana Anda melihat pemanfaatan isu ekstremisme dan radikalisme keagamaan?
Persoalan politik identitas ialah sesuatu yang dieksploitasi secara besar-besaran oleh elite. Kita melihat pada proses kampanye pemilu lalu, kedua pihak secara besar-besaran mengeksploitasi isu agama. Berbagai hashtag yang muncul dari kedua kubu menjurus pada identitas kesalihan dan keberagamaan tokoh yang mereka usung.
Bagi saya, itu preseden buruk bagi demokrasi kita. Ke depan, para politikus akan melihat untuk memenangkan hati, untuk mendapat sebuah posisi dalam politik, hanya diperlukan hal-hal mudah untuk menarik massa, seperti isu agama, ras, etnisitas.
Kita melihat di Pemilu 2019 ini sangat sedikit ruang diskusi isu dan policy. Diskusi di media sosial dan offline lebih banyak diwarnai dengan siapa yang lebih salih. Seharusnya semakin maju, diskusinya di tingkatan policy.
Saya kira tidak tepat kalau berbicara masyarakat sumbu pendek karena asalnya dari elitenya yang mengeksploitasi isu agama, ras, dan simbol-simbol agama. Satu pihak zikir berjemaah, satu pihak istigasah, sama saja, menarik masyarakat dengan hal-hal yang sifatnya emosional daripada rasional.
Dengan tuntasnya pemilu, apa Anda melihat tren itu akan mereda atau malah terus dimanfaatkan sebagai komoditas politik?
Kita lihat makin jelas pascapemilu ini, bentuk ‘kemarahan’ masyarakat dan kegembiraan masyarakat seperti apa. Keseluruhannya di-drive elite. Elitenya ngetweet dulu atau statement dulu di media, kemudian tersebar, dan menjadi diskusi di tingkatan masyarakat.
Bagaimana agar masyarakat lebih cerdas dalam memahami fenomena tersebut?
Pertama, yang masyarakat harus sadari, hal yang disampaikan elite politik ialah cita-cita bersama sehingga kita akan belajar untuk bergandeng tangan. Berkolaborasi ialah kuncinya. Sesungguhnya Indonesia seperti apa yang kita harapkan, Indonesia maju seperti yang disampaikan Pak Joko Widodo atau Indonesia adil makmur yang disampaikan Pak Prabowo Subianto. Keduanya merupakan cita-cita bersama dan kita bertanggungjawab untuk mewujudkan bersama-sama sebagai bangsa Indonesia, terlepas siapa pun yang memimpin.
Hal kedua yang harus kita sadari ialah apa pun yang dijanjikan elite politik, itu tidak akan terjadi besok. Proses kemajuan suatu bangsa itu sangat bertahap dan tahapan-tahapan tersebut di antaranya melalui proses politik. Cepat atau lambatnya hal-hal itu terwujud, kembali kepada kita, masyarakat. Mau tidak kita kerja bareng dengan siapa pun yang memimpin?
Yang ketiga, ialah literasi. Ini sangat mendasar dan penting. Masyarakat harus sebaik mungkin mendidik diri mereka, mendidik anak-anaknya, dan berpartisipasi dalam komunitasnya untuk meningkatkan tingkat literasi mereka. Literasi itu bukan hanya baca tulis, melainkan juga kemampuan menganalisis, kemampuan berkomunikasi, bagaimana kita mendapatkan referensi dulu sebelum melakukan sesuatu atau berbicara, atau mengunggah sesuatu di media sosial.
Terakhir, selera humor. Selera humor itu sangat penting menurut saya, kerendahan hati, juga kesabaran. Tingkat literasi rendah, tapi orang kalau punya kerendahan hati dan kesabaran, tidak akan asal bicara. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved