Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
DI tengah menanjaknya musik elektronik, lagu-lagu band 1990-an seperti hit dari Sheila on 7 (So7) dibawakan kembali oleh band yang lahir di era generasi Z, Pee Wee Gaskins. Tidak hanya lagu So7, dalam minialbum Salute to the 90's itu band beraliran alternatif rock tersebut juga menyanyikan lagu Dewa 19 hingga Potret.
Bangkit kembalinya era 1990-an juga terlihat di industri sinema. Film-film daur ulang, bahkan menjadi box office. Lalu, apakah yang sebetulnya mencetuskan fenomena yang juga sudah lebih dulu terjadi di Amerika Serikat ini? Berikut ulasannya:
Nostalgia dan Pencarian Karakter
AWAL tahun ini kematian vokalis The Cranberries, Dolores O'Riordan, membawa banyak orang bersedih. Dolores dan band-nya memang menjadi salah satu ikon musik era 1990-an.
Gelombang kesedihan di salah satu sudut Jakarta melahirkan acara A Tribute To Dolores yang menghadirkan Kikan Namara (eks vokalis Cokelat) sebagai salah satu penampil.
Meski mungkin tidak ada korelasi dengan acara tersebut, sepanjang tahun ini kita kemudian makin banyak mendapatkan lagi melodi 1990-an. Nostaligia ini hadir lewat konser maupun dari studio rekaman.
Pada Juli, band alternatif rock yang populer di generasi Z, Pee Wee Gaskins, mengeluarkan minialbum Salute To 90's. Di dalamnya ada lagu-lagu hit dari Sheila on 7, Dewa 19, hingga Rumahsakit yang dinyanyikan dalam rasa lebih 'keras'. Menjelang akhir tahun, pada November pun hadir konser The 90s Festival. Di tahun ini pula kita menyaksikan Padi bangkit kembali di bawah nama Padi Reborn.
Melihat fenomena ini, pentolan grup band Barasuara, Iga Massardi menilai sebagai kekuatan nostalgia.
"Memang kita orang Indonesia itu senang nostalgia. Awalnya ada acara tribute 90, terus sekarang makin ramai," terang Iga Massardi kepada Media Indonesia, Jumat (7/12).
Konser musik musisi luar negeri yang pernah berjaya pada era 1990-an maupun yang lebih lampau, menurutnya, juga menguatkan virus nostalgia itu. Sebut saja Liam Gallagher, yang berlangsung Januari di Ancol, Incubus pada Februari, hingga konser pada Agustus.
Autentik
Terpisah, pentolan band Potret yang juga produser dan pengamat musik Anto Hoed menilai tren nostalgia ini juga sebagai bentuk pencarian anak muda tentang musik yang berkarakter. Para musikus muda berusaha menemukan sumber yang lebih otentik.
"Saat ini sangat sedikit referensi musik yang mempunyai kepribadian dan jiwa yang kuat. Oleh karena itulah, anak muda menoleh kembali pada era ketika banyak musikus mempunyai karya dengan karakter kuat. Mereka membutuhkan itu untuk referensi karya. Mereka mencari sumber-sumber yang lebih autentik, makanya yang dicari adalah musik-musik di 1990, 1980, bahkan 1970," terang Anto Hoed (5/12).
Anto menilai kemunculan tren itu bermula dari wilayah selatan. Sekelompok musikus muda di Jakarta Selatan membentuk wadah bernama Diskoria Selekta yang memainkan lagu jadul dengan iringan musik disko.
Dari situlah kemuadian, musik era 1990-an kembali lagi ke peradaran. Mereka mampu memadukan potensi musik jadul Indonesia dengan musik disko.
Di sisi lain, Anto menyayangkan industri musik di Indonesia kurang awas terhadap fenomena tersebut. Industri musik seharusnya mampu mengkonsolidasi tren nostalgia yang mencerminkan kebutuhan akan musik berkarakter tersebut.
"Mereka (industri) hanya merespons, yang ini bisa dijual gampang, yang ini bisa dijual gampang, cuma seperti itu," lanjutnya. Padahal, musik bukan hanya melulu soal ekonomi, melainkan juga opini. Suara dari masyarakat bawah yang terwujud dalam tren anak muda pun luput dari perhatian industri musik.
Anto mencontohkan industri musik di Amerika yang tidak berhenti mencari hanya pada tingkatan tertentu. "Karena di Amerika pun, industri besar. Misalnya ada yang besar, kemudian dia mencari Jay-Z, kemudian (Kanye) West, mencari lagi di bawahnya ada 50 Cent, ke bawah (terus) bawah," tegas Anto sembari memberi contoh beberapa nama industri besar dalam musik.
Menurut Anto, seharusnya kelompok musik independen diambil kelompok yang lebih besar. Kelompok itu lalu memberikan kepada kelompok yang lebih besar lagi di atasnya. Begitu seterusnya hingga sampai pada industri. "Jadi industri yang di atas, hanya tinggal melancarkan tentang bisnisnya. Itu yang tidak dilakukan," pungkasnya. (M-1)
Beragam Pola Daur Ulang
TIDAK hanya pada musik, tren nostalgia juga terlihat di industri film. Namun, sedikit berbeda, nostalgia yang dihadirkan lebih bermacam bentuk. Tidak melulu daur ulang, tetapi banyak pula yang merupakan film baru dengan inspirasi kisah 90-an atau malah lebih lawas.
Contoh teranyar ialah film Suzzanna: Bernapas Dalam Kubur yang rilis pertengahan bulan lalu. Film yang menjadi box office dengan menembus 3 juta penonton itu memiliki judul yang mengingatkan pada film Bernapas Dalam Kubur (1971), sedangkan kisahnya mengingatkan pada film Sundel Bolong (1981).
Sebelumnya, ada pula film Benyamin Biang Kerok yang rilis Maret 2018. Film yang dibintangi Reza Rahadian itu menyajikan kisah yang baru, meski diangkat dari sosok terkenal Benyamin S.
Terkait tren ini, pengamat film Ekky Imanjaya menilai pendaurulangan film berkaitan erat dengan sinema cult. Istilah itu berarti fi lm-fi lm yang mempunyai pengikut militan yang selalu merayakan filmnya. Umumnya, para penggemar menonton filmnya berkali-kali tanpa merasa bosan. Bahkan, mereka hafal dialog-dialog dan gestur tubuh para karakternya. “Ciri fi lm cult itu adalah salah satunya sering dikutip dialognya, atau yang paling diingat,” ujar Ekky sembari memberi contoh ‘nyanyian kode’, atau ‘jangkrik bos’ dalam Warkop DKI. Seberapa besar fan terhadap suatu film, itulah yang turut menentukan kesuksesan film, selain tentunya soal strategi pemasaran.
Pola yang dipakai dalam mendaur ulang film ialah reborn dan remake. Reborn merujuk pada upaya menghidupkan kembali bintang film legendaris dengan segala atribut dan ciri khasnya. Sementara itu, remake ialah mendaur ulang cerita. “Remake lebih ke cerita, kalau reborn lebih ke menghidupkan karakter,” terang Ekky.
Menurut Ekky, film berbasis novel dengan setting era 90an pun mendapat tren positif pada tahun ini, misalnya, Dilan 1990 berhasil menembus 6 juta penonton.
“Menjual nostalgia, menjual memori memang lagi tren. Gak harus film reborn. Dilan (1991) aja itu memori tentang di Bandung tahun 1990-an. Bohemian Rapsody juga begitu,” ujar Ekky.
Meski demikian, Ekky menilai film yang dibesarkan dengan sinema cult legendaris akan mencapai titik jenuh. “Sampai kapan kita mengeksploitasi kenangan? Yang kita tahu malah kenangan atas kenangan,” tukas Ekky Hal sama juga dikatakan Iga pada industri musik. Tren nostalgia ini tidak akan berlangsung lama sebab tren ini juga akan menggalami titik jenuh.
“Tidak (berlanjut). Ini kalau 2019 masih ya over exposed,” ujar Iga yang menilai tren tersebut juga merupakan pengaruh dari luar negeri. Contohnya adalah dari musisi Bruno Mars yang, meliris lagu Finesse pada 2016. Video lagu itu keluar pada Januari tahun ini dan sangat kental dengan nuansa 90-an. (Zuq/M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved