Headline
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.
DI sekitar 20 rumah di Perumahan Jambusari, Daerah Istimwa Yogyakarta (DIY), ada bak dan drum-drum yang ditempatkan di bawah talang air. Saat musim hujan ialah saat bak dan drum tersebut berfungsi vital.
Mereka menampung air hujan yang mengalir dari genteng ke talang. Warga kemudian memanfaatkannya untuk berwudu.
"Kami sudah memulainya dua tahun lalu," kata Martha Haenry, salah seorang warga Jambusari yang menampung air hujan di rumah. Haenry berbagi kisah lingkungannya itu pada Rabu (28/11) di acara Kongres Memanen Air Hujan Indonesia di Universitas Gadjah Mada (UGM), DIY.
Haenry menuturkan warga pun sudah menyebut kegiatan di rumah itu sebagai memanen air hujan. Itu menunjukkan sudah adanya pemahaman untuk tidak menyia-nyiakan air hujan meski pemahaman soal potensi pemanfaatannya belum sama. "Tahap selanjutnya semoga warga bisa menikmati dan mengonsomsi air hujan untuk kebutuah harian," katanya.
Kesadaran warga perumahan Jambusari bermula dari perkenalan Haenry dengan Agus Maryono, dosen Teknik Sipil UGM. Agus yang memiliki keahlian di bidang pemanfaatan dan pengolahan air ini bersama sejumlah masyarakat melakukan gerakan memanen dan memanfaatkan air hujan untuk kehidupan dan kelestarian lingkungan.
Agus melakukan gerakan tersebut berdasarkan potensi air hujan yang cukup besar di DIY. Setiap tahun pada musim penghujan, di Yogyakarta mendapatkan limpahan air hujan 2.000-3.000 mm. Ini terjadi pada saat hujan normal.
Ketika diukur menggunakan gelas, dalam waktu 1 atau 1,5 jam, tinggi hujan mencapai 25 mm. Namun, ketika mendapatkan 50 mm tinggi hujan, itu masuk kategori hujan agak tinggi dan ketika melebihi itu disebut hujan ekstrem.
"Jadi, selama enam bulan ini, secara keseluruhan di Yogyakarta bisa mendapatkan 2.000-3.000 mm air hujan," kata Agus.
Dengan itu, ia memperkirakan rumah seluas 100 meter persegi bisa mendapatkan 25 mm air per jam. Jika hujan berlangsung berlangsung 1-1,5 jam, rumah itu mendapat 3,25 meter kubik.
Kemudian jika dalam 1 minggu terjadi hujan sampai 3 kali, berarti rumah itu sudah mendapatkan 10,25 meter kubik. Padahal, lanjut Agus, kebutuhan 5 orang dalam 1 keluarga hanya sekitar 5.000-6.000 liter atau 5-6 meter kubik.
"Rumah tadi 10 lebih meter kubik, berarti sudah ada sisa," kata Agus yang sudah menekuni pemanenan air hujan sejak 2005.
Berdasarkan perhitungan itu pula, sisa tampungan air, menurut Agus, bisa digunakan untuk tabungan saat musim kemarau dengan cara memasukkannya ke sumur, baik sumur galian atau sumur resapan.
"Jadi, pas musim kemarau tidak perlu mendalamkan sumur lagi karena udah terisi selama 6 bulan," imbuhnya.
Memanen air hujan juga sudah dilakukan Kamaluddin dari komunitas Banyu Bening. Dia mengatakan memanen air hujan sangat sederhana dan tidak perlu biaya yang mahal. "Mari kita menyelamatkan lingkungan dengan memanen air hujan. Sederhana saja, tidak perlu mahal-mahal," ajaknya.
Aman
Setelah pemanenan air hujan banyak dilakukan, pertanyaan berikutnya terletak pada pemanfaatan. Saat ini, seperti yang ada di Jambusari, kebanyakan masyarakat hanya menggunakan air hujan untuk sanitasi dan berwudu.
Namun, menurut Agus, air hujan sangat baik dan sehat untuk langsung diminum. Itulah mengapa ia yang sudah lama melakukan penelitian soal sungai dan air hujan merekomendasikan air hujan dari paralon langsung dimasukkan ke sumur. "Langsung saja tidak apa-apa, itu (air hujan) bagus kok," katanya meyakinkan.
Menurut Agus, air hujan tidak mengandung bakteri Escherichia coli (E coli) dan tidak menandung detergen. Dengan memasukkan air hujan ke sumur, air sumur akan terisi dan kualitas airnya naik karena terisi air yang bersih.
Penggunaan paralon untuk mengalirkan air ke sumur pun dinilai aman. Bahan paralon dinilai tidak mudah larut oleh air hujan. Namun, ia menyebut masyarakat harus menghindari penggunaan media asbes.
"Jadi, yang perlu diwaspadai dan dihindari ialah asbes karena ada indikasi yang tidak baik. Kalau atapnya beton, genteng, beton, atau seng, itu baik dan tidak masalah," imbuhnya.
Selain membantu masyarakat untuk menghindari kekeringan di musim kemarau, pengisian air hujan ke sumur juga bermanfaat mengurangi potensi banjir.
Sri Wahyuningsih dari Komunitas Banyu Bening pun mengajak masayrakat untuk tidak takut mengonsumsi air hujan. Sri juga menjelaskan tingkat keasaman (pH) air hujan juga dapat diatur dengan menggunakan aliran listrik.
Air di Indonesia
Pemanenan air hujan juga didukung Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Sakti Hadengganan, Direktur Pengendalian Kerusakan Perairan Darat KLHK, menilai pemanfaatan air hujan penting jika berkaca dari kondisi ketersediaan air di Indonesia.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana menyebut, pada 2015 terjadi defisit air sekitar 20 miliar meter kubik di Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Pada 2017, kekeringan terjadi di 105 kabupaten, 715 kecamatan, dan 2.726 desa.
Data itu meningkat pada 2018, kekeringan melanda 11 provinsi yang terdapat di 111 kabupaten/kota, 888 kecamatan, dan 4.053 desa, dan menyebabkan 4,87 juta jiwa terdampak. Sebagian besar bencana kekeringan melanda wilayah Jawa dan Nusa Tenggara, khususnya Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, NTT, dan Lampung.
"Daerah-daerah yang mengalami kekeringan saat ini ialah daerah-daerah yang hampir setiap tahun terjadi kekeringan. Wilayah Jawa dan Nusa Tenggara telah defisit air tahun 1995," kata Sakti. (FU/M-1)
Berikut langkah sederhana untuk memanen air hujan.
- Buat bak penampungan atau siapkan drum-drum di halaman rumah.|
- Buat jalur talang air mengarah ke bak atau drum tersebut.
- Bisa pula air hujan dimanfaatkan untuk mengisi sumur resapan.
- Air dapat langsung dialirkan ke sumur atau disaring dengan kain bekas.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved