Headline

Berdenyut lagi sejak M Bloc Space dibuka pada 2019, kini kawasan Blok M makin banyak miliki destinasi favorit anak muda.

Fokus

PSG masih ingin menambah jumlah pemain muda.

Bertani tanpa Api di Lahan Gambut

DWI APRIANI
01/12/2018 08:00
Bertani tanpa Api di Lahan Gambut
Sapia dan keluarga yang memanfaatkan lahan gambut seluas 1 hektare dengan menanam hortikultura dan palawija, juga membuat kolam ikan di sela batas tanaman(MI/DWI APRIANI)

HINGGA kini, bertani dan berladang di lahan gambut masih jadi kegiatan yang belum diminati warga. Bukan saja soal keberhasilannya, warga juga masih gamang soal proses awal, yakni pembukaan lahan.

Praktik pembakaran lahan jelas sudah dilarang. Sementara itu, pembukaan lahan dengan cara yang lebih ramah lingkungan belum mereka pahami.

Maka dari itu, kisah Karni menjadi istimewa di lahan gambut. Kepala Dusun III Desa Bumi Agung, Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatra Selatan (Sumsel), tersebut sukses berbudi daya tanaman tanpa pembakaran lahan.

Dengan bantuan Badan Restorasi Gambut, Karni berhasil mengolah lahan gambut menjadi lahan pertanian dengan komoditas hortikultura dan palawija.

Di atas lahan seluas 0,5 hektare, Karni menanam berbagai jenis sayuran, seperti sawi, kangkung, kacang panjang, cabai rawit, pare, bayam, dan jagung. Keberhasilan itu juga merupakan buah gotong royong dengan sang istri dan beberapa orang tetangga.

Sebelum menanam, mereka terlebih dulu membersihkan berbagai tanaman liar dan pohon-pohon kecil yang ada di lahan yang terletak di belakang rumah itu. Pembersihan lahan itu dilakukan tanpa praktek yang dilarang, yakni pembakaran lahan.

"Awalnya kami bersihkan lahan ini. Biasanya dulu, banyak warga yang buka lahan dengan membakar sebab lahan gambut ini sangat mudah dibakar. Selain itu, hasil tanahnya menjadi lebih gembur dan mengandung unsur pupuk. Tapi pemerintah, kepolisian, dan semua pihak kini melarang itu. Karenanya, kami lakukan buka lahan dengan menggunakan alat sederhana, seperti menggunakan cangkul, parang, dan sebagainya," ungkap Karni kepada rombongan media, Senin (26/11).

Setelah lahan bersih, mereka membuat batas tanaman dan menggemburkannya. Lahan kemudian dibagi-bagi sesuai dengan jumlah jenis tanaman yang akan ditanam.

Hal itu dilakukan agar ada batasan pengelompokan tanaman sehingga tidak bercampur dan mempermudah saat panen. Praktek pertanian ramah lingkungan juga dilakukan dengan penggunaan pupuk kandang.

Pupuk tersebut berasal dari kotoran kambing dan sapi. Dengan cara itu, limbah peternakan pun bisa dimanfaatkan.

Karni mengaku sempat mengalami kegagalan tanam karena penebaran bibit yang dilakukan di musim kemarau. Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya, ia kembali menanam bibit-bibit tersebut, dan bertumbuh kembang seperti harapannya.

Sekitar 2 bulan seusai masa tanam, pria dengan 2 anak dan 1 cucu itu pun berhasil memanen tanamannya. Hasilnya pun cukup lumayan, seperti sayur kangkung dan sayur sawi serta kacang panjang yang ia panen. "Hasil panennya saya jual ke pasar. Di sini (Dusun III Desa Bumi Agung) sangat laku (laris) jika berjualan sayuran. Uang hasil berjualan sayuran, saya putar untuk membeli berbagai jenis bibit tanaman lain dan sebagian untuk kebutuhan hidup sehari-hari," ungkap pria 45 tahun itu.

Sosialisasi ke sekitar
Meski sudah dinilai berhasil dan mampu menjadi pemasukan bagi keluarganya, Karni tidak ingin sukses sendiri. Ia pun selalu mengajak masyarakat untuk mengikuti langkahnya.

"Di sela kondangan, di saat berada di kantor kecamatan, di saat pengajian, saya selalu sosialisasikan cara bertanam seperti ini. Prinsip saya, banyak yang ikuti cara ini, maka akan banyak pula yang sejahtera. Selain itu, masyarakat juga bisa berhemat jika misalnya bertani, maka tidak perlu mengeluarkan uang untuk membeli sayur dan lainnya," jelasnya.

Karni mengakui, dalam upaya bertanam hortikultura di lahan gambut ini cukup banyak kendala. Salah satunya karena adanya gangguan dari hewan buas. Apalagi di wilayahnya itu, sangat banyak babi hutan. Gangguan tersebut ditangani dengan memasang waring disekitar lahan pertaniannya.

Di lokasi berbeda, bertanam dan bertani di lahan gambut pun dilakukan Sapia. Warga yang tinggal di Kampung Mawar, Desa Bumi Agung, Kecamatan Lalan, Sumsel.

Bersama anaknya, Suhardi, Sapia mengolah lahan seluas 1 hektare untuk berbagai jenis tanaman. Ada cabai hijau, cabai rawit, terong, kopi, pare, kacang panjang, dan sebagainya. Karena berada di dekat sungai, lahan pertanian miliknya pun dibuat dengan batas tanaman yang cukup tinggi, sekitar 1 meter dari dasar tanah. Hal itu karena di sekitar batas tanaman terdapat aliran air. Saat air sungai pasang, sela batas tanaman akan terendam air.

"Kami buat sekat-sekat air di setiap batas tanaman sebab saat air pasang, maka air akan masuk ke sela-sela batas tersebut. Air yang masuk ini juga dimanfaatkan sebagai sumber air untuk menyiram tanaman," jelas Sapia.

Ia mengakui, belum begitu banyak tanaman yang disemai di lahan gambut tersebut. Ia baru memproduksi cabai hijau dan cabai rawit serta terong dan pare.

"Dalam satu hari, kita bisa panen puluhan kilogram cabai rawit ataupun cabai hijau. Begitu pun dengan terong dan pare. Pengepulnya banyak yang pesan dan setiap hari kita suplai. Pengepul ini datang setiap hari mengambil hasil panen kita," ucapnya.

Tidak hanya pengepul, cukup banyak juga masyarakat di Kecamatan Lalan yang membeli langsung dari lahannya. Biasanya pemesanan melalui telepon seluler.

"Beberapa jam sebelum ambil pesanan, harus telepon dulu karena kita harus petik dulu dari lahan. Setiap harinya kita panen, alhamdulillah hasilnya sangat lumayan untuk pemasukan kami," ucapnya.

Bukan hanya memenuhi hidup sehari-hari, hasil pertanian tersebut juga mampu menyekolahkan tujuh orang anaknya hingga jenjang sekolah yang tinggi. Bahkan, hasil dari penjualan itu pun diputarnya kembali untuk pembelian bibit dan pembelian pupuk kandang.

Sapia pun dapat menyewa ekskavator untuk memperluas area tanam sayur-sayuran agar lebih bisa dimanfaatkan optimal. "Kami sewa ekskavator itu Rp3 juta untuk membuat area tanam. Uangnya ini tentunya berasal dari hasil penjualan cabai," ungkapnya.

Selain menanam hortikultura, Sapia dan keluarganya, membuat kolam ikan di sela batasan tanaman yang ada di lahan gambut tersebut. Karena air yang berada di area tersebut memiliki tingkat keasaman tinggi sehingga Sapia melapisi dasar air dengan terpal dan di saluran air dipasang batang pisang yang dapat menyaring unsur air.

"Kami memulai ternak ikan patin. Ikan ini biasanya hidup di air tawar. Tapi dengan sistem ini, ikan-ikan itu bisa hidup," ujarnya.

Sama dengan Karni, Sapia pun mengungkapkan dirinya sudah mengajak para tetangga dan masyarakat sekitar untuk memanfaatkan lahan miliknya masing-masing yang berada di atas lahan gambut untuk memanfaatkan dengan bertani. Ia pun menjanjikan untuk mencari kantong-kantong pengepul hasil pertanian dari masyarakat sekitar.

Sementara itu, Kepala Subkelompok Kerja Informasi dan Kehumasan Kedeputian Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG) Anderi Satya mengatakan warga di Desa Bumi Agung sudah sebagian kecil menerapkan pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian tanpa harus membakar lahan.

"Ada 3 lokasi demplot di Musi Banyuasin yang telah menerapkan pengelolaan lahan tanpa bakar, dilaksanakan oleh kelompok masyarakat peduli gambut," ucapnya.

Adapun ketiganya, yakni Kampung Mawar seluas 1 hektare dengan sistem agrosilvafishery dengan tanaman padi, hortikultura, dan palawija. Dusun II seluas 1 hektare dengan sistem lahan agroforesty, tanamannya, yakni sengon dan hortikultura. Kemudian Dusun III seluas 0,5 hektare dengan sistem lahan agroforestry, tanamannya, yakni hortikultura dan palawija. (DW/M-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya