Headline
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.
Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.
Pada era 2000-an, dunia kesusastraan Tanah Air dibuat geger oleh karya sejumlah penulis perempuan yang tidak malu-malu mengangkat isu sensitif nan tabu. Salah satunya ialah Nayla, novel karya Djenar Maesa Ayu.
Novel tersebut bercerita gamblang bagaimana seorang perempuan mengalami eksploitasi seksual, juga kekerasan multidimensi. Tutur penceritaan Djenar yang tak kalah blak-blakannya dengan alur cerita Nayla membuat buku itu sangat kontroversial sekaligus sangat relevan pada masanya.
"Saya sengaja menulis blak-blakan, dan saya tidak merasa perlu untuk mengeditnya. Itu sudah sesuai konteks, yang ingin saya munculkan adalah tabu yang seharusnya memang dibahas," ulas Djenar yang hadir dalam peluncuran perdana Nayla versi bahasa Inggris di Blanco Museum, Ubud, Bali, Kamis (25/10).
Djenar tidak berupaya memperhalus ataupun memilah diksi yang lebih sesuai dengan segala pakem yang berlaku untuk beberapa alasan yang kuat. "Nayla memang karakternya seperti itu. Kalau karakter yang manis kan saya tidak pakai kata yang vulgar," sambungnya.
Menghidupkan karakter Nayla bukan satu-satunya alasan Djenar menabrak norma kepenulisan yang kala itu masih kaku. Ia ingin mengetengahkan topik-topik sensitif dan melawan represi terhadap perempuan yang secara sistematis ditanamkan dalam struktur sosial ketimuran dan budaya patriarki.
"Saya beruntung punya editor yang paham betul apa yang saya lakukan. Pada saat itu, editor saya, Mirna, fight sekali memperjuangkan kata-kata saya yang mungkin memang tidak layak dipertimbangkan untuk penerbitan. Tapi, dia fight jadi bisa hadirlah Nayla," sebut Djenar.
Tiga belas tahun lalu, Nayla dapat dikatakan menuai sambutan meriah. Pembacanya berasal dari lintas usia dan latar belakang, termasuk anak SMP seperti Sebastian Partogi, yang saat itu harus curi-curi membacanya.
Kini, Nayla dilahirkan kembali dalam versi bahasa Inggris, dan Sebastian yang sekarang menjadi jurnalis The Jakarta Post dipercaya untuk menjadi pengalih bahasa. Penerjemahan dilakukan selama 8 hari.
"Saya termasuk dalam pembaca di bawah umur yang waktu itu bacanya ngumpet-ngumpet. Saya sudah baca Nayla dari saya SMP, itu sudah 13 tahun berlalu. Jadi, prosesnya sebetulnya lebih dari 8 hari," ucap Partogi.
Tiga belas tahun lalu, Djenar bukan satu-satunya penulis perempuan yang berupaya mendobrak belenggu atas perempuan. Saat itu, ada beberapa penulis perempuan lain seperti Ayu Utami, Fira Basuki, dan Dewi Lestari yang turut mengangkat isu otoritas perempuan. Atas tubuh mereka, maupun hidup mereka.
Sayangnya, waktu tersebut belum cukup untuk mengubah posisi perempuan Indonesia. Setidaknya di mata Djenar.
"Jujur, saya sedih sekali. Membaca ulang Nayla setelah 13 tahun itu seperti siksaan buat saya. Sudah banyak pergerakan, kampanye, program, semua sudah dilakukan tapi harus saya katakan situasinya masih sama. Tidak ada yang berubah," aku Djenar.
Perempuan, menurutnya, masih tetap menjadi komoditas yang mengalami penindasan dan ketidaksetaraan. Sementara itu, budaya patriarki terus tumbuh subur dalam sistem sosial masyarakat. Ia berharap, dengan terbitnya versi berbahasa Inggris dari Nayla akan semakin banyak pembaca dari berbagai kalangan tergerak menyadari bahaya masif represi atas perempuan. (Fat/M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved