Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

[WAWANCARA] Noor Huda Ismail: Kikis Terorisme dengan Uluran Tangan

Ardi Teristi
23/9/2018 09:30
[WAWANCARA]  Noor Huda Ismail: Kikis Terorisme dengan Uluran Tangan
MI/Susanto(MI/Susanto)

INDONESIA kini punya UU 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Terorisme yang hasil revisinya telah disahkan pada Mei 2018. Implementasinya, Polri punya detasemen khusus.

Namun, terorisme nyatanya punya banyak wajah, diperbincangkan di warung kopi, mengancam dan menakutkan, tetapi sekaligus isu humanis.

Topik terkininya, terorisme kini juga dikaitkan dengan intoleransi. Media Indonesia mewawancarai Noor Huda Ismail, pakar terorisme dan pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian untuk mencari tahu, siapakah sosok dibalik teror itu.

Dalam perjalanan Indonesia menghadapi terorisme, bagaimana pandangan Anda mengenai perjalanan penanganan yang dilakukan?

Teroris harus dilihat sebagai sesuatu yang organik, dia akan berubah sesuai kondisinya. Di Indonesia sekarang, negara sangat efektif mencabut para pelaku teroris dari akarnya, dari Bom Bali II sampai hari ini, sudah lebih 1.500 yang ditangkap.

Artinya, orang yang melakukan teroris bisa ditangani. Namun, terorisme mengalami evolusi. Laiknya sebuah pohon, dia tumbuh dan berkembang sesuai situasinya.

Pandangan Anda mengenai Revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme?

UU Terorisme di Indonesia sudah banyak kemajuan karena meliputi aspek perencanaan, orang yang mengikuti kegiatan terorisme, persekusi, deradikalisasi, dan integrasi sosial.

Undang-undang ini penting untuk disosialisasikan, bukan hanya dalam diskursus formal negara, melainkan juga di tingkat masyarakat.

Yang perlu dilihat lagi, pertama, kalau pendekatannya hanya legal formal, tanpa keterlibatan sistematis dari masyarakat, penanganan terorisme akan susah.

Organisasi masyarakat, sekolah, dan masyarakat luas harus terlibat agar bisa membantu orang-orang yang pernah terlibat, kembali ke masyarakat dan bisa diterima.

Kedua, adalah preventif atau pencegahan agar orang-orang tidak tertarik lagi main-main mercon, terlibat dalam terorisme. Kalau kita fokusnya hanya nangkapin saja, tanpa ada integrasi, nanti akan menciptakan fenomena residivis.

Sejak 2009, bom JW Mariot, aksi terorisme berhubungan dengan penjara. Artinya, orang yang telah bebas (dari penjara), tidak terintegrasi dengan baik (di masyarakat), mereka kembali ke kelompok lama dan main lagi.

Pola teroris terkini?

Sekarang ini, ketika teknologi mengemuka, jenis teroris dan rekrutmennya berbeda. Ketika ada media sosial, orang yang direkrut, anak-anak muda atau milenial. Mereka mendapat indoktrinasi kekerasan dalam tempo tidak lama sehingga serangannya gitu-gitu saja, tetapi lebih cepat dan banyak.

Tindakan teroris sekarang bergeser dari collective action ke connective action. Mereka awalnya hanya terkoneksi melalui media sosial, kemudian masuk lewat telegram.

Di film saya, Jihad Selfie dan Pengantin, saya tunjukkan proses atau pola rekrutmen itu bergeser. Social media pelan-pelan menciptakan eco chamber atau kelompok yang ngomongnya itu-itu saja.

Dulu, orang yang melakukan tindakan terorisme selalu masuk ke kelompok tertentu lebih dulu, seperti Darul Islam, JI (Jamaah Islamiah), Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Dari kelompok itu, mereka kemudian menjadi pelaku, perilaku mereka berdasar collective action.

Bagaimana dengan WNI yang banyak bergabung ke ISIS kemudian dideportasi?

Sejak deklarasi ISIS pada Juli 2014, di Indonesia, ada sekitar 700 orang yang berhasil berangkat dan bergabung. Namun, yang gagal bergabung lalu dideportasi sekitar 400-an orang. Yang menarik, 70% dari yang dideportasi adalah perempuan dan anak-anak. Deportan-deportan ini menjadi tantangan tersendiri karena penanganannya sangat kompleks.

Para deportan tersebut masih membayangkan bergabung di wilayah khilafah. Seperti orang jatuh cinta, kalau belum terwujud, mereka akan tetap penasaran. Apalagi, mereka sudah sangat yakin bisa bergabung ke wilayah khilafah, menjual tanah serta berpamitan.

Namun, ketika mereka kembali, mereka hidup baru lagi. Jika tidak ditangani serius, bukan tidak mungkin akan tergiur melakukan kekerasan.

Anda pernah menyebut, penjara di Indonesia tidak menjerakan pelaku teroris, bagaimana penjelasannya?

Yang kami lakukan, salah satunya fokus pada reformasi penjara. Struktur penjara sudah repot banget, Cipinang didesain sejak zaman Belanda untuk 900 orang, hari ini sudah sampai 3.000 orang. Penjaranya sangat penuh dan stafnya sangat kurang.

Harus ada penanganan khusus napi terorisme sesuai tingkat keterlibatannya. Alasannya, pertama, ketika dicampur, mereka akan regrouping, mengentalkan satu sama lain.

Ketika ada yang merevisi pandangan jihadnya, ia dianggap mujahid tempe, yang tidak jelas komitmennya sehingga susah lepas dari kelompoknya. Mereka malah akan saling menguatkan dalam kelompoknya.

Kerusuhan di Mako Brimob contohnya. Yang kooperatif di sana lebih banyak, tapi karena berkumpul dengan satu kelompok, yang kooperatif jadi tidak punya ruang gerak.

Alasan kedua, ada kecenderungan napi teroris merekrut napi lain. Contohnya, Koswara yang dulunya hanya tukang parkir di Jawa Barat dan terjerat kasus narkoba. Di penjara, dia menjadi baik, ikut pesantren dan bersinggungan dengan kelompok teroris. Begitu keluar, dia dimanfaatkan kelompok tersebut menjadi travel agent orang yang berangkat ke ISIS.

Napi teroris, ketika berada di dalam penjara, kastanya termasuk tinggi. Tiba-tiba dia diustazkan. Banyak orang yang belajar agama dari napi teroris di dalam penjara.

Apa sebenarnya yang menggerakkan orang menjadi teroris?

Tidak semua orang yang terlibat murni digerakkan agama. Bisa jadi faktor balas dendam, misalnya, di Poso. Mereka bahkan banyak yang belajar membaca Alquran di dalam penjara.

Tapi, mengapa banyak yang mengaitkan teroris dengan Islam?

Kebanyakan di Indonesia muslim sehingga yang terlibat aksi terorisme, orang Islam. Sementara itu, di Amerika Serikat, yang terlibat aksi terorisme itu, orang-orang kulit putih yang mau menyerang Islam. Di Prancis juga ditemukan sel ultranasionalis kanan yang ingin menyerang umat Islam.

Ya, kebetulan saja menggunakan jargon-jargon Islam sehingga rekrutmen berjalan baik karena ada dalil-dalilnya, misalnya, menggunakan kisah tentang keutamaan Negeri Syam hingga tentang akhir zaman yang dimanipulasi. Bagi orang yang tidak paham konteks atau Asbabun Nuzul dan Asbabul Wurud, mudah sekali mereka membeli dagangan itu.

Tapi, bukankah bom Bali pelakunya alumni pesantren sehingga pesantren sering dikaitkan dengan aksi teror?

Saya juga alumni Ngruki selama enam tahun, dari umur 12 sampai 18 tahun. Kita melihat pesantren sebagai gudang teroris dalam konteks kapan, di mana, dan di pesantren apa?

Orang yang terlibat teroris rutenya banyak, tidak hanya lewat pesantren.

Kalau di Ngruki, dulu pun diakui memang telah terjadi rekrutmen sebagian santri untuk masuk jaringan Darul Islam. Mereka tidak punya imajinasi menjadi bagian terorisme, tetapi mengganti sistem Republik Indonesia, yang dianggap sekuler menjadi lebih Islami.

Itu dulu, tidak hanya di Ngruki, tetapi juga di gerakan-gerakan yang lain, yang menolak Pancasila.

Poinnya adalah pada 1980-an saat belajar di sana, resistensi terhadap Pancasila, tidak hanya milik Ngruki, tetapi organisasi-organisasi Islam lainnya.

Konteksnya pada waktu itu, negara sangat represif, peristiwa Tanjung Priuk, pemaksaan asas tunggal, dan yang lebih penting, pada pertengahan 1980-an ada konflik Afganistan. Di Timur Tengah, politik Islam sedang naik-naiknya, misalnya, konsepnya Al-Maududi, Sayyid Qutb, Hasan al-Banna.

Jadi, kita tidak bisa dalam istilah Jawa, gebyah uyah atau menyamaratakan teroris. Perlu penanganan yang superdetail, melihat konteksnya dan setiap individunya.

Bagaimana ceritanya Anda kemudian tidak terjerumus pada kelompok yang menolak Pancasila, lalu melakukan aksi terorisme?

Saya pernah dibaiat menjadi Darul Islam. Namun, kemudian tidak jadi teroris karena orang hidup itu tidak linier, tidak organik, sesuai dengan kondisinya.

Setelah dari Ngruki, saya kena matahari, pupuk, tanah, dan air yang berbeda dari teman saya. Akan tetapi, beberapa teman kemudian ketemunya orang-orang itu, terlibat di Afganistan, kemudian jadi teroris.

Sebagai orang yang pernah bersinggungan dengan teroris, bagaimana pendapat Anda tentang sosok mereka?

Bagi orang-orang luar, mereka melihat teroris itu sadis dan pembunuh. Bagi saya, yang pernah bersinggungan, sosok itu adalah bapak yang sayang anaknya, ramah kepada tetangga, dan hafal Alquran. Kalau perempuan bisa jadi, sosok yang sangat cerdas dan cerewet, seperti umumnya.

Anda percaya, orang yang pernah terlibat terorisme bisa berubah menjadi baik?

Orang berhenti jadi teroris itu wajar. Banyak yang saya wawancarai, ingin pensiun dan ganti suasana karena kecewa, baik organisasinya, pemimpinnya, taktiknya, dan lain-lain.

Apa yang dibutuhkan agar orang yang terlibat teroris bisa sadar dan memulai hidup baru?

Orang bisa memulai hidup baru, pertama, harus kecewa dengan yang dilakukan sebelumnya, mendapatkan lingkungan baru, dan diterima masyarakat.

Itulah fungsi orang-orang seperti saya di Yayasan Prasasti Perdamaian, membantu teman-teman saya ini mendapatkan jaringan sehingga punya kemampuan dan pertimbangan untuk memulai hidup baru.

Apa pendekatan yang Anda lakukan untuk mendekati mantan pelaku teror?

Pertama, pendekatan heart untuk memenangkan trust. Kedua, hand, memberikan mereka keterampilan. Ketiga, head, memengaruhi ideologi melalui konfrontasi langsung dengan realita sosial.

Kini isu toleransi masih terus bergaung, adakah hubungan radikalisme, intoleransi, dan terorisme?

Orang yang terlibat terorisme, pintu masuknya banyak. Yang banyak terjadi saat ini, intoleransi membuka kesempatan lebih banyak untuk pemikiran radikal.

Contohnya, pelaku bom dari Cirebon, awalnya dia bukan dari kelompok teror, melainkan hanya terlibat dalam demonstrasi anti-Ahmadiyah. Namun, kemudian bersinggungan dengan kelompok aksi teror dan akhirnya melakukan teror.

Jadi, apa yang sebaiknya dilakukan agar Indonesia lebih toleran?

Ini kegagalan kita adalah merayakan perbedaan, fear of otherness. Misalnya, karena pemilu saja, unfriend banyak orang.

Sejak kecil, anak-anak harusnya diajarkan merayakan perbedaan. Be different is fine. Saya sebagai bapak dari dua anak sebisa mungkin, kalau belajar, mereka berada di tempat minoritas agar bisa mengapresiasi yang berbeda.

Bagaimana mengantisipasi radikalisasi lewat internet?

Yang paling awal, digital literacy, karena orang terpengaruh disebabkan tidak paham. Kedua, langkah negara atau perusahaan media sosial, misalnya, menutup konten yang mengajak melakukan kekerasan. Ketiga, pendekatan positif, misalnya, membikin film dan didistribusikan ke media daring dan melakukan roadshow.

Apakah benar, semakin taat beragama, maka akan kian radikal dan intoleran?

Kegairahan orang beragama bukan ciri radikal dan intoleran. Kecenderungan intoleran dan radikal karena biasanya berkumpulnya di kelompok-kelompok yang sama. Ini fenomena sosiologis, yang tidak hanya di Islam, di kelompok nonmuslim hingga klub olahraga juga begitu.

Bagaimana dengan paham radikalisme yang merasuki anak muda?

Kita harus membaca, radikalisme anak muda adalah bagian dari kemudaan dan melihatnya sebagai proses mencari jati diri.

Alangkah baiknya, dicarikan pilihan-pilihan radikal positif bagi anak muda, misalnya, olahraga ataupun kegiatan sosial.

Pengalaman yang harus dialami anak muda adalah piknik bersama untuk melihat, mengobservasi, dan ketemu kelompok yang berbeda.

Ketika mendekati mantan teroris, bagaimana kiat Anda agar mereka mendekat?

Pertama, kita fokus pada hal yang sama, sebagai manusia, bukan pada perbedaannya. Sama-sama suka makan satai dan soto. Teman-teman saya banyak yang menganggap saya kafir, tetapi kalau kesulitan biaya sekolah anaknya, Whatsapp minta bantu bayar SPP. Ya, bantu saja. Berbuat baik dengan sesama dan mendukung satu dengan yang lain.

Pernah terima ancaman dari kelompok radikal?

Ancaman itu pasti ada, ada yang datang terbuka meminta organisasi saya dibubarkan karena menggembosi apa yang mereka sebut jihadnya para ikhwan. Ada juga yang bilang mau meracun saya.

Akan tetapi, kenapa saya tetap melakukan hal ini? Sederhana, karena dulu saya hampir terjerumus dan untuk memulai hidup baru itu susah, banyak yang seperti itu.

Pilot project saya di Indonesia, tetapi kami juga ingin berkontribusi menyelesaikan persoalan-persoalan dunia. Saya kini di bicara di mana-mana, misalnya, Singapura, Thailand, Amerika, dan Inggris. (M-1)

----------------------------------------

Belajar dari Irlandia
SEBELUM menjadi pakar teroris dan aktif dalam menyuarakan perdamaian, Noor Huda Ismail pernah belajar di Pondok Pesantren di Ngruki dan menjadi jurnalis di Washington Post. Ia mengaku, dirinya terjun ke dunia terorisme dan perdamaian terinspirasi dari perjalanannya meliput peristiwa Bom Bali.

"Dulu ketika liputan Bom Bali pertama, saya kaget, yang terlibat adalah teman-teman saya dulu, satu kamar di pesantren. Saya ingin tahu apa yang menggerakkan teman-teman saya memilih jalur ini," kata dia.

Ia berpikir, keingintahuannya yang besar saat itu terpasung oleh profesinya sebagai jurnalis. Pasalnya, jika tetap menjadi jurnalis, ia tidak bisa hanya fokus pada menginvestigasi tentang terorisme saja.

Dari situ, ia fokus pada topik terorisme dan mendapatkan beasiswa sekolah ke Inggris dan melakukan penelitian di Irlandia Utara. Di Irlandia Utara, ia menemukan organisasi kecil yang membantu teroris yang terlibat dalam konflik Kristen versus Katolik untuk mendapat kesempatan kedua memulai hidup baru.

Dari pengalaman di Irlandia Utara itu, ia kemudian terpikir membuat organisasi sejenis. Setelah sepuluh tahun berkecimpung bergelut tentang terorisme dan perdamaian, ia menyimpulkan, orang berhenti dan tidak suka jadi teroris, serta memulai hidup baru adalah hal yang wajar.

Jurnalisme dan film
Noor Huda belakangan meluaskan jangkauannya dalam penanggulangan terorisme lewat media yang lebih populer, buku jurnalisme sastrawi dan film dokumenter. Ada tiga karya pentingnya menjadi diskusi hangat di tengah masyarakat, yaitu laporan jurnalisme sastrawi Temanku, Teroris? serta film dokumenter Jihad Selfie dan Pengantin.

Menurut dia, pendekatan alternatif dalam menanggulangi terorisme penting sehingga tidak melulu menggunakan kacamata keamanan, tetapi lebih humanis. Walau seseorang telah terlibat dalam dunia teroris, ia tetap memiliki kesamaan. "Keamanan itu penting, tetapi jangan melulu. Kita harus juga melihat terorisme sebagai sebuah fenomena sosial," kata dia.

Noor Huda berpendapat, tidak ada orang yang terlahir menjadi teroris. Seseorang untuk menjadi teroris melewati proses dan untuk meninggalkan dunia teroris, juga membutuhkan proses.

"Itu alasan kenapa saya selalu fokusnya ke mantan pelaku, untuk menjadi agent of change dalam kelompok itu," kata dia.

Selain lewat film dan buku laporan jurnalistik, Noor Huda juga membuat laman ruangobrol.id. Di laman tersebut, orang bisa membaca perbincangan ustaz, ustazah, dan mantan orang yang pernah terlibat terorisme.

"Saya mendorong mantan-mantan yang pernah terlibat teroris member get member," pungkas dia.

___________________________

Biodata

Nama: Noor Huda Ismail
Tanggal Lahir: 29 November 1972

Pendidikan
- PhD Politics and International Relations, Monash University.
Thesis: The Indonesian Foreign Fighters, Hegemonic Masculinity and Globalization.
- Master on International Security, St Andrews University, Scotland.

Pekerjaan Profesional
- Pendiri ruangobrol.id.
- Direktur Eksekutif Institut untuk Institute for International Peace Building (2008-2014).
- Visiting Scholar at the School of Law, Melbourne University (2006).
- Visiting Scholar at S Rajaratnam School of International of International Studies, Singapore (2005).
- Koresponden Spesial untuk Washington Post Biro Asia Tenggara (2002-2005).

Buku
- Escape from Raqqa (akan terbit 2018, Mizan)
- My Friend, the Terrorist? (Mizan 2010)

Film Dokumenter
- The Terrorist Whisperer--Associate Producer (segera tayang).
- The Bride: The Story of Hope and Love 2018--Sutradara Eksekutif.
- Jihad Selfie 2016--Produser dan Sutradara.
- Prison and Paradise 2008--Produser.

Penelitian
- David Duriesmith dan Noor Huda Ismail, Degrees of Disengagement: Recrafting Masculinity and the Process of Leaving Jihadi Networks, (persiapan).
- David Duriesmith dan Noor Huda Ismail, Militarised Masculinities Beyond Methodological Nationalism: Charting the Multiple Masculinities of an Indonesian Jihadi. Under Review at
International Theory.

Penghargaan
- Ashoka Award for Social Entrepreneur of the Year 2013.
- The Australian Award Scholarship 2014-2018.
- EU Leadership Award 2014.
- The British's Chevening Scholarship Award 2005-2007.
- The Japanese Cultural Award 2004.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya