Headline
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Bartega buka kegiatan belajar seni sambil piknik, ditemani alunan jazz, pun yang dikolaborasikan dengan kegiatan sosial.
Sekitar 10,8 juta ton atau hampir 20% dari total sampah nasional merupakan plastik.
JALAN bergelombang dan udara pengap di dalam mobil omprengan membangunkan saya. Tidak lama kemudian, sang sopir memberi tahu sudah sampai di tujuan. Saya dan tiga teman seperjalanan turun di suatu pertigaan. Amboi, Gunung Bongkok menjulang di hadapan kami. Di sebelah kanannya tampak Gunung Parang, gunung batu andesit yang sudah tidak asing di kalangan pemanjat tebing lokal.
Terletak di Purwakarta, bukit batu yang menyerupai punggung bongkok itu mulai naik daun dalam satu-dua tahun terakhir. Paling tidak di kalangan penyuka kegiatan luar ruang yang berasal dari daerah Ibu Kota dan sekitarnya.
Mungkin karena jaraknya yang relatif dekat dan durasi pendakian yang konon 2-3 jam saja. Alasan serupa yang membuat Gunung Bongkok menjadi pilihan saya untuk sejenak rehat dari hiruk pikuk Jakarta, akhir Februari lalu.
Kurang lebih pukul 10.30, mengikuti papan petunjuk jalan, kami memasuki area Pos I (Sanget) yang memiliki vegetasi pepohonan bambu.
Di Gunung Bongkok, pendaftaran tidak dilakukan di Pos I seperti kebanyakan gunung lain, melainkan di Pos II (Munclu). Jaraknya dapat ditempuh dengan hanya 15 menit dari Pos I.
Meski masih jauh dari puncak, tidak sedikit pendaki yang memilih 'parkir' di Pos II. Alasannya kami pahami ketika sampai di sana. Pos dengan ketinggian 666 mdpl itu ternyata menyajikan pemandangan yang memancing decak kagum di kala hari cerah seperti Sabtu itu.
Panorama Jatiluhur
Waduk Jati Luhur terlihat dari jalur pendakian
Dari tepiannya terlihat jelas sederetan bukit dan pegunungan, termasuk Gunung Gede-Pangrango yang tengah beratap langit biru terang. Bendungan Jatiluhur yang menghampar jadi alasnya.
Bebatuan besar menjadi ciri khas Gunung Bongkok, lazimnya gununggunung kecil di Jawa Barat. Lima belas menit sejak beranjak dari Pos II, kami menjejak di Pos III (Batu) pada ketinggian 700 mdpl. Nama pos itu tampaknya diambil dari batu teramat besar di kanan trek.
Jalur terus menanjak. Sekitar 20 meter kemudian, kami bertemu tanjakan petama yang telah dipasangi alat bantu webbing. Ketiadaan hujan selama beberapa hari menjadikan jalur itu kering sehingga kami tidak terlalu berpayah-payah melewati tanjakan tersebut.
Selewat tanjakan tersebut, pepohonan bambu mulai merenggang dan vegetasi berganti. Di ketinggian 800 mdpl, kami bersua kembali dengan apa lagi, kalau bukan tanjakan curam.
Webbing yang bergoyang membuat pegangan tangan saya tidak stabil. Satu waktu, webbing terpelintir dalam genggaman. Keseimbangan saya hilang, dan saya terjerembap. Lengan kanan saya terasa pedih karena tergesek webbing.
Mirip Gunung Salak
Tebing dan puncak Gunung Bongkok dapat terlihat dari kaki gunung
Jalur pendakian Gunung Bongkok relatif rapi dan jelas,
serta dilengkapi webbing untuk menjaga keseimbangan.
Kami masih harus melintasi dua tanjakan lagi berkemiringan sekitar 75 derajat sebelum akhirnya tiba di pertigaan berupa tanah datar yang sempit.
''Enggak kalah ternyata sama jalur Salak,'' komentar saya sembari ngos-ngosan.
Gunung Salak yang juga di Jawa Barat memang cukup terkenal dengan trek terjalnya. Dengkul ketemu jidat, istilah para pendaki.
Sudah ada satu tenda untuk lima orang berdiri di situ. Area datar yang terbilang sempit di pertigaan ini membuat kami ragu untuk mendirikan tenda.
Dari cerita Mang Sule, pemilik warung di kaki gunung, sekitar 15 menit dari pertigaan ada camping ground yang dapat menampung lebih banyak tenda. Setelah berembuk, dua rekan memutuskan untuk mencoba mencari lokasi itu. Setengah jam kemudian, mereka kembali. Nihil. Lewat dari 15 menit, jalur semakin curam dan tipis. Ketimbang tersesat dan menghabiskan tenaga, mereka memutuskan untuk kembali dan mendirikan tenda di pertigaan. Keputusan yang kami syukuri karena kabut datang tidak lama setelah tenda rampung dipasang.
Sore itu kami habiskan dengan memasak dan beristirahat di dalam tenda. Diberkatilah para produsen mi instan; memberi penghiburan bagi tubuh-tubuh yang lelah dan malas berlama-lama memasak. Sembari menyeruput mi hangat, saya menyibak pintu tenda. Kabut tipis kian mendekati area tenda. Langit pun bernuansa abu-abu. Entah di mana matahari.
Dengan panorama 360 derajatnya, puncak Gunung Bongkok yang dinamai Puncak Batu Tumpuk memang amat strategis untuk melihat datang dan perginya matahari. Dari tempat kami berkemah, puncak bisa dicapai dalam 5-10 menit. Pukul lima petang, kami berdiri di puncak.
Seharfiah namanya, puncak Gunung Bongkok diitandai oleh tumpukan batu-batu besar tak beraturan, yang sayangnya dikotori oleh tangan-tangan usil pelaku vandalisme. Kabut terlihat di sisi timur, menyembunyikan Gunung Parang dari pandangan kami. Di sebelah barat, matahari samar terlihat. Di tumpukan batu tertinggi, beberapa anak muda sibuk berfoto-foto dengan tongsis. Wajah mereka ceria, tertawa-tawa, kendati jurang hanya beberapa sentimeter di depan mereka. Saya bergidik.
Sekitar 20 menit, mereka beranjak turun setelah puas berfoto dengan beragam pose. Nah, giliran kami sekarang. Memang untuk dapat berdiri di tumpukan batu tertinggi, kita harus antre. Datarannya amat sempit, mungkin hanya bisa menampung 2-3 orang.
Untuk mencapainya saya harus merayap dari batu ke batu.Saya menatap tumpukan batu di hadapan saya dengan gentar. Tidak ada tali pengaman apa pun di sekitarnya. Tergelincir atau hilang keseimbangan, jurang menganga siap menerima saya.Dengan melafalkan sebaris doa, saya mengeraskan hati. Jangan lihat ke bawah. Fokus. Begitu saya membatin.
Cakrawala
Tidak sampai 5 menit merayap naik, saya sudah duduk di tumpukan batu tertinggi yang juga menjadi ujung tebing. Terlalu takut untuk berdiri. Namun, usaha barusan terbayar lunas.
Jika panorama dari Pos II saja sudah mengundang kekaguman, apa yang tampak dari Puncak Batu Tumpuk berkali lebih cantik. Dari ketinggitan 975 mdpl, pandangan tidak lagi terhalang. Kita dapat melihat nun jauh hingga batas cakrawala. Ketika saya sibuk bergulat dengan ketakutan, langit rupanya menjelma cerah. Yang kini menaungi saya ialah langit bergradasi merah jambu dan keemasan. Menyembul di atas awan, puncak Gede-Pangrango di kejauhan tampak di sisi kiri matahari yang perlahan bergerak turun sejajar pandangan. It’s a golden sunset.
Kaki kanan Jonggrang Kalapitung
Siapa mengira, hanya beberapa jam dari Jakarta, saya dapat menikmati suguhan alam yang luar biasa ini.Saat tengkurap di atas batu, perhatian saya terantuk pada satu cekungan di sebelah kanan. Bentuknya menyerupai tapak kaki. Saya teringat pada cerita yang saya baca sebelum pergi ke Gunung Bongkok. Syahdan, menurut legenda lokal, itu ialah tapak kaki kanan Jonggrang Kalapitung, jin raksasa yang menjadi penunggu gununggunung di Tanah Pasundan. Namun, ada juga yang beranggapan itu tidak lebih dari ukiran hujan.
Langit menjelma nila gelap dan kebiruan pada pukul setengah tujuh kurang. Sabit pun muncul dibarengi angin yang makin kencang. Titik-titik cahaya dari bangunan-bangunan di bawah kami mulai berpendaran. Sudah waktunya turun.(M-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved