Headline

Setelah melakoni tenis dan olahraga di gym, aktor Christoffer Nelwan kini juga kerajingan padel.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

[WAWANCARA] Nursita Mouly Surya: Produksi Film seperti Pasar Kaget

Ferdian Ananda Majni
16/9/2018 09:30
[WAWANCARA] Nursita Mouly Surya: Produksi Film seperti Pasar Kaget
(MI/Adam Dwi)

MESKI tergolong baru di dunia perfilmanan, Mouly Surya dengan cepat mencuri perhatian. Karya filmnya memang belum banyak, tapi keterampilan dan kelihaiannya menyutradarai film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak patut diperhitungkan.

Kepiawaian Mouly pun kembali diuji dalam film keempatnya yang diadaptasi dari novel Jalan tak Ada Ujung milik sastrawan Mochtar Lubis yang akan digarap tahun depan. Adaptasi novel ke film ini akan menjadi pengalaman pertama pemilik nama panjang Nursita Mouly Surya itu.

Apa alasan Mouly menyutradarai film tersebut? Bagaimana pandangannya tentang industri perfilman nasional seharusnya, saat ini dan ke depan?

Media Indonesia berkesempatan mewawancarai Mouly Surya dalam dua kesempatan berbeda di Jakarta. Berikut kutipan wawancaranya.   

Bagaimana awalnya Anda masuk ke dunia film?
Hobi menulis, pendidikan sarjana sastra, jadi salah satu karier yang kewartawanan, jurnalisme. Namun, tidak pernah pengen ke arah itu juga sih. Ada teman yang bikin film amatir, kita ikut mereka. Sejak saat itu saya tertarik.   

Siapa tokoh yang menginspirasi Anda selama ini?
Banyak ya. Pas saya zaman kuliah Stanley Kubrick. Sekarang sukanya Michael Haneke dan Hirokazu Koreeda.

Setelah Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak, novel sastra Jalan tak Ada Ujung karya Mochtar Lubis akan menjadi film keempat yang Anda sutradarai. Apa alasan Anda mengadaptasi novel itu ke film?
Ketika kuliah, saya belajar sastra. Zaman dulu kuliah, setiap minggu baca buku sastra dan dibahas di kelas. Ketika saya membaca Jalan tak Ada Ujung, saya langsung jatuh cinta. Saya sangat tertarik melihat cerita setting pascakemerdekaan Indonesia 1946-1947.

Novel ini sangat relevan karena menceritakan seorang guru yang harus memilih pro-Belanda atau prokemerdekaan. Ceritanya sangat relevan dengan dunia yang kita alami. Buat saya sebagai film maker, saya tidak melihat best seller atau bukan. Kita mencari kedalaman cerita. Sangat menantang untuk membuat film ini.   

Kapan film Jalan tak Ada Ujung ditayangkan?
Tahun ini kita selesaikan penulisan skenario, sedangkan tahun depan produksi. Rencananya bisa rilis pada 2020.  

Seperti apa sosok Mochtar Lubis di mata Anda?
Bagi saya, Mochtar Lubis luar biasa dengan dengan latar belakangnya, dengan pengalaman hidupnya, dan cara mengungkapkannya lewat tulisan. Dia salah satu sastrawan yang sangat saya kagumi.   

Bagaimana respons Anda saat menanggapi kritikan?
Dalam pujian ataupun kritikan, ya, tidak 100% saya terima bulat-bulat karena bagaimanapun tetap mereka menerima sebagai penonton dan ada beberapa komentar yang menarik. Bukan hanya selalu komentar positif, melainkan juga komentar yang negatif, bisa saja itu sesuatu, misalnya, benar-benar abu-abu berada ditengah-tengahnya.

Oke menang award, menang award di mana? Oh, film ini sudah memenangkan sekian award dari festival ini, festival itu, dan saya melihatnya tidak begitu ya. Saya melihat lebih ke impact, oke filmnya masih diomongin, misalnya, film ini rilis kapan, pertama kali tayang di Festival Film Cannes Mei pada 2017, dan sampai saat ini masih berjalan terus. Bahkan, masih ke mana-mana dan masih diomongin orang.

Sebagai sutradara, bagaimana Anda melihat perkembangan perfilman indonesia, baik kualitas, skenario, pemain, hingga sinematografi?
Menurut saya, masih terlalu pelan perkembangannya. Berkembang iya, tetapi akan lebih positif ketika saya mengatakan perkembangannya berjalan terlalu per­lahan karena kekurangan SDM dan sistem yang belum berkembang.

Sistemnya masih seperti pasar kaget saja dan yang paling sulit bukan mancari satu, dua, atau tiga film yang sukses, ketika kita harus mendapatkan konsistensi baik di market atau kualitas.

Jika ditanya film indonesia yang bagus ada apa tidak, tentunya ada. Film Indonesia yang sukses secara komersial ada apa tidak, ada juga. Konsistensinya itu yang masih dicari. Nah, itu baru bisa dibilang industri maju jika konsistensinya dan sustainabilitas tersebut. 

Apa kendala dan tantangan yang dihadapi dalam industri perfiman Indo­nesia?
Pastinya SDM ya, kita kekurangan sekolah film dan tidak hanya itu, pendidikan dasar pun, saya tidak tahu zaman sekarang, kalau zaman dulu maksudnya pendidikan bahasa Indonesia itu kita disuruh merangkai kalimat dengan benar, bukannya kita membaca sastra dan mencoba berpikir kritis. Jadi, menurut saya itu salah satu problem terbesar.

Orang Indonesia yang jago banyak, tetapi untuk bidang-bidang seperti film, sastra, dan lainnya kita butuh konseptor. Untuk menjadi konseptor memang agak lebih berpikir, kritis dan itu yang masih kurang di sistem.

Jadi, kita kekurangan sutradara atau pemain film?
Macam-macam itu, maksudnya semuanya  bisa dibilang dan tidak cuma mereka saja yang di bawah, jadi kalau di film ada above the line (ATL), below the line (BTL). Nah, BTL secara kru juga sangat kekurangan.

Coba saja lihat, yang dinominasikan di FFI (Festival Film Indonesia) atau daftar nominasinya dalam 10 tahun terakhir. Berapa nama orang terulang-ulang dan itu-itu saja. Menurut saya itu bisa dilihat dari sana karena kalau seandainya dibilang ada director fotografi ini, ada art director ini tetapi mana yang muncul dan mana yang memiliki konsistensi.

Ada tidak hubungan konsistensi berkarya dengan funding (pendanaan)?
Itu sebenarnya yang sedang dikeluhkan, yaitu mereka kesulitan mencari kru, level antara kualitas dan kuantitas. Kalau ditanya apakah itu berhubungan dengan funding, menurut saya iya.

Apakah funding-nya berjalan ke arah yang tepat dan diperlukan karena kita omongin, oh ya ada uang ini dan ada uang itu, banyak sih sebenarnya uang begitu istilah karena ada. Akan tetapi, apakah dananya berjalan ke arah yang tepat? Itu yang patut dipertanyakan.

 Untuk sebuah karya baru, berapa lama kebutuhan risetnya?
Macam-macam sih, maksudnya kalau untuk Marlina, ya, itu tadi dari 2014 sembari menulis skenario berbarengan dengan riset karena riset juga ada yang tidak oke. Tiga bulan kita harus riset terus, nah tidak begitu. Jadi berskala, lihat saja filmnya.

Film Marlina sudah banyak berkelana di negeri orang. Respons mereka sangat positif. Bagaimana Anda memandang pencapaian ini?
Diputar di beberapa negara itu sesuatu yang sangat sulit untuk bisa dilakukan perfilman Indonesia. Karena film kita, jujur secara internasional mungkin bergembar-gembor di Indonesia, beda sekali dengan apa yang terdengar di luar.

Kita pikir di sini berhasil dan oke, tetapi sebenarnya orang masih belum tahu brand film indonesia itu seperti apa, pasti tidak tahu. Ketika film ini ditayangkan di beberapa festival di luar, banyak sekali yang berkomentar jika ini salah satu film pertamanya Indonesia.

Memang beda ya, maksudnya bandingannya bukan kita ngomongin film Korea, kita ngomongi film Jepang yang sudah punya brand, dan mereka sudah punya penonton, serta punya fan khusus.

Nah, film Indonesia tidak seperti itu. Jadi, ketika dibilang film ini ditayangkan di beberapa negara sendiri aja, itu sebenarnya justru menjadi achievement yang paling berarti bagi saya karena itu memang yang saya cari, itu yang saya mau.

Saya masuk ke festival besar seperti itu, yang pasti achievement pertama yang kita sangat senang untuk kita mendapatkan ialah ketika Directors Fortnight (tempat Marlina ditayangkan di Festival Film Cannes 2017 di Prancis) memilih film ini untuk ada di sana.

Directors Fortnight terkenal sangat selektif, ketika masuk seleksi saja, mereka bilang bahwa sangat selektif dan kompetitif, meskipun kita masuk seleksi, mungkin kita tidak masuk juga (final selection) dan kita mengerti.

Jadi dampaknya sangat besar ya?
Akhirnya, festival ini menjadi semacam etalase dan menampilkan film di sana menarik perhatian banyak orang, dunia internasional dan tentunya distributor.

Ini beda ya, bila dibandingkan dengan film Amerika dengan bintangnya mereka, itu mungkin punya impact yang lebih besar lagi dan tergantung dari kontennya juga.

Ini ada film Indonesia, yang masih asing bagi kebanyakan penonton, tetapi mendapatkan atensi penonton dan bisa didistribusikan ke beberapa negara, menurut saya itulah achievementnya.

Dari sejumlah karya Anda, film apa yang berkesan?
Waduh, bukan masalah berkesan ya, ini pekerjaan saya. Ini hidup saya begitu istilahnya. Jadi, kalau dari film pertama, kedua, dan ketiga saya lihatnya sih, kalau soal kesan, setiap orang punya kesan.

Jika kita berbicara soal eksekusi dan skill pastinya sembari saya bertambah pengalaman hal tersebut juga menjadi semakin, menurut saya film itu seperti bahasa, jadi semakin fasih. (AT/M-4)

-------------------------------

Profesional dan Saling Mendukung
BEKERJA di bidang yang sama dengan suami, bukan berarti Mouly Surya tak bisa profesional dan totalitas. Buktinya, duetnya bersama sang suami, Rama Adi yang juga Produser Cinesurya, telah meng­antarkan sejumlah kesuksesan lewat film yang telah mereka ciptakan.

Mouly menuturkan, kediaman yang difungsikan sebagai kantor turut memudahkannya menjalankan peran sebagai seorang istri dan rekan kerja sekaligus.

“Kita bisa dibilang pengusahalah. Maksudnya dilihat dari entrepreneur karena ini menjadi suatu hal yang positif karena jujur tidak ada kondisi yang tidak mengenakkan, kita bisa saling sangat terbuka,” ungkap perempuan yang hobi membaca itu ketika ditemui Media Indonesia, beberapa waktu lalu di Kantor Cinesurya, Kawasan Melawai, Kebayoran Baru, Jakarta.

“Saya tidak memisahkan itu, ini pekerjaan atau ini rumah. Karena hal ini telah menjadi satu, menjadi hidup saya. Jadi, tidak ada perbedaan,” sambung alumnus bidang Media dan Literatur di Universitas Swinburne, Melbourne, Australia itu.

Di lain sisi, ia juga tidak menemukan kesulitan ketika harus menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya. Kondisi itu justru ia manfaatkan menjadi ruang berkumpul setiap saat bersama keluarga.

Dengan pola kerja demikian, Mouly mengaku anaknya bisa belajar banyak hal dan mendapatkan pengalaman tersendiri ketika mereka diajak ikut bersama. “Mungkin bukan masa kecil yang sama seperti orang kebanyakan atau sama dengan teman-temannya yang orangtuanya kerja pukul 09.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB. Nah, itu mungkin berbeda, tetapi kita bisa selalu bersama,” lanjutnya.

Sehari-harinya, pengagum sineas Stanley Kubrick, Michael Haneke, dan Hirokazu Koreeda itu rutin beryoga di sela-sela kesibukannya. Pasalnya, olaraga itu bisa ia lakukan di dalam ruangan tanpa harus meninggalkan pekerjaannya terlalu lama.

“Dulu pas lagi sakit saya coba, akhirnya saya pilih Yoga karena juga tidak suka olahraga outdoor, sekarang memang ketagihan Yoga,” pungkasnya. (FD/M-4)

-------------------------------

Biodata:

Tempat, tanggal lahir
Jakarta, 10 September 1980

Profesi
Sutradara dan penulis skenario

Pendidikan
1999-2003: Bachelor of Media and Literature, Swinburne University in Melbourne, Australia
2004-2005: Master of Film and Television Bond University, Gold Coast, Australia

Filmografi
- Fiksi (2008),
Diputar di Busan IFF dan memenangkan berbagai penghargaan, termasuk Best Director di Jakarta International Film Festival pada 2008.
- What They Don’t Talk When They Talk About Love (2013),
Diputar di berbagai festival internasional, termasuk ikut kompetisi di Sundance Film Festival pada 2013.
- Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak (2017),
Film ini memenangkan berbagai penghargaan festival internasional dan menjadi salah satu film yang terpilih dalam Director’s Fortnight Cannes Film Festival 2017.
Best Cinematography pada Festival Film Asia Pasifik (FFAP) 2018

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya