Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
MENGAPA penganut bumi datar kokoh pada keyakinannya walaupun disodori segudang bukti yang berlawanan? Begitu pula yang terjadi pada para penolak perubahan iklim ataupun penolak Holocaust. Mereka tidak akan akan bergeser sedikitpun dari keyakinan mereka.
Sebuah studi terbaru dari University of California, Berkeley, mengungkapkan bahwa umpan balik (feedback) lebik efektif dalam meningkatkan kepekaan dibanding fakta-fakta. Kepekaan ini merupakan hal penting untuk mempelajari hal-hal baru ataupun mencoba mengatakan yang benar dan salah.
"Jika Anda berpikir Anda tahu banyak tentang sesuatu. Padahal sebenarnya tidak. Sebenarnya Anda cenderung tidak memiliki keinginan yang cukup untuk menjelajahi topik itu lebih jauh. Anda akan gagal belajar dan gagal paham tentang betapa sedikitnya yang Anda ketahui," kata pemimpin studi Louis Marti yang sedang menempuh gelar Ph.D bidang psikologi di UC Berkeley, sebagaimana dilansir dari sciencedaily.com (9/9/2018). Temuan para peneiliti University of California, Berkeley, diterbitkan dalam jurnal Open Mind edisi terbaru.
Celeste Kidd, asisten profesor psikologi di UC Berkeley menambahkan jika fakta-fakta sering menjadi tumpul karena orang-orang yang sudah terlanjur memiliki anggapan keliru itu kerap mengembangkan teori sendiri untuk mendukung keyakinan mereka. "Jika Anda menggunakan teori gila untuk membuat prediksi yang benar beberapa kali, Anda bisa terjebak dalam keyakinan itu. Anda bisa saja tidak tertarik untuk mengumpulkan lebih banyak informasi," ujarnya.
Lebih lanjut Marti menjelaskan selain kepekaan, kemampuan belajar orang juga sangat dipengaruhi keyakinan. Keyakinan inilah yang sering mengesampingkan nalar, logika dan data ilmiah. Keyakinan dan juga kepekaan dapat ditingkatkan dengan umpan balik tersebut. Bentuk umpan balik sendiri beragam, mulai dari tanggapan, interaksi dengan sesama hingga tugas-tugas jika dalam hubungan yang tidak egaliter.
Kesimpulan para peneliti tersebut dibuat dengan studi terhadap lebih dari 500 orang. Mereka diminta memperhatikan berbagai kombinasi bentuk berwarna pada layar komputer. Kemudian, mereka diminta mengidentifikasi bentuk-bentuk tersebut yang cocok untuk mendefinisikan "Daxxy". Namun peneliti tidak menjelaskan apa itu Daxxy.
Peserta studi pun menebak secara membabi buta namun mereka diberi umpan balik atas tebakan-tebakan mereka. Setelah menebak, mereka diminta untuk konfirmasi tentang keyakinan dalam jawaban mereka.
Hasil akhir menunjukkan jika para peserta mendasarkan keyakinan mereka tentang Daxxy lewat empat sampai lima tebakan terakhir. Informasi-informasi yang mereka kumpulkan atau diberikan dari awal justru kerap tidak dijadikan pertimbangan.
"Bukan karena mereka tidak memperhatikan, mereka sedang belajar apa itu Daxxy, tetapi mereka tidak menggunakan sebagian besar dari apa yang mereka pelajari untuk menginformasikan kepastian mereka," tambah Marti. Artinya, orang cenderung menyimpulkan kepastian lewat pengalaman-pengalaman terkini atau yang belakangan mereka alami (dapatkan) sementara bukti atau fakta yang sudah ada lama justru sering tidak diperhatikan. (M-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved