Headline
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
COELACANTH adalah sekelompok ikan bersirip lobus (sarkopterigi) besar yang berdiam di gua-gua laut. Ikan ini dianggap telah punah selama 65 juta tahun, hingga sebuah spesimen hidup pertama kali ditemukan secara tidak sengaja di Afrika Selatan pada 1938 oleh seorang kurator museum Afrika Selatan di atas kapal pukat ikan lokal.
Coelacanth menghadirkan beberapa bentuk unik dan menarik seperti sirip lobus tidak berpasangan yang sangat mirip dengan sirip berpasangan dan paru-paru/kantung renang yang sangat termodifikasi.
Bersama dengan ikan paru-paru (lungfish), mereka adalah kerabat terdekat dari tetrapoda (hewan berkaki empat) dan berbagi dengan mereka beberapa fitur morfoanatomis yang tidak ditemukan pada vertebrata yang lebih jauh kekerabatannya, seperti ikan bersirip pari (actinopterygii).
Coelacanth pertama kali muncul pada kala Devonian Awal, mengalami sedikit diversifikasi pada periode Devonian dan Karboniferous, dan mencapai puncak keanekaragaman pada Trias Awal.
Selama periode Kapur, mereka hanya dikenal dari dua famili, yaitu Latimeriidae—yang bertahan hingga sekarang dengan dua spesies dalam genus Latimeria—dan Mawsoniidae, yang punah pada akhir periode Kapur.
Ketika spesimen hidup pertama ditemukan, ikan ini sangat mengingatkan pada bentuk fosil dari periode Kapur sehingga dijuluki sebagai 'fosil hidup', yaitu spesies dengan morfologi yang tidak berevolusi banyak dalam periode waktu yang sangat lama.
Dua spesies yang masih hidup adalah Coelacanth Samudra Hindia Barat (Latimeria chalumnae) dari Kepulauan Komoro di lepas pantai timur Afrika, dan Coelacanth Indonesia (Latimeria menadoensis) dari perairan lepas Sulawesi, Indonesia.
Spesies yang terakhir (Indonesia) jauh kurang terdokumentasi dibandingkan kerabat dekatnya dari Afrika, dan karena sulitnya mencapai habitat terumbu dalam tempatnya hidup, observasi yang dilakukan sangat sedikit, dan itu pun hanya dari kapal selam mini atau Kendaraan Operasi Jarak Jauh (Remotely Operated Vehicles/ROV).
"Coelacanth Indonesia adalah ikan bersirip lobus (bukan tetrapoda sarkopterigi) perairan dalam sedang yang jarang terdokumentasi, yang awalnya dianggap endemik di wilayah Sulawesi, Indonesia, dan dikenal terutama dari tangkapan sampingan (bycatch)," kata Alexis Chappuis, seorang peneliti di Association UNSEEN (Underwater Scientific Exploration for Education) dan Pusat Penelitian Kolaboratif untuk Ekosistem Perairan di Indonesia Timur, beserta rekan-rekannya.
"Sangat sedikit observasi 'in situ' (di tempat) langsung yang telah dilakukan pada spesies ini, dan itu pun hanya dengan menggunakan kapal selam mini dan ROV."
"Kami melaporkan penampakan di tempat langsung pertama oleh penyelam terhadap spesimen hidup Coelacanth Indonesia di perairan Maluku Utara, Indonesia, selama penyelaman teknis reconaissance baru-baru ini yang diduga melebihi kedalaman 150 m untuk menyelidiki habitat Coelacanth," lanjutnya.
Para peneliti menjumpai Coelacanth Indonesia pada Oktober 2024 selama penyelaman dalam di perairan kepulauan Maluku, yang terletak di antara Sulawesi dan Papua Nugini bagian Barat.
"Masih terlalu dini untuk membahas populasi coelacanth Maluku yang baru," kata mereka.
"Namun, mengingat kepulauan Maluku terletak di antara Sulawesi dan Papua Barat, kecil kemungkinan hanya satu individu yang hidup di wilayah luas ini."
"Penampakan terbaru kami, digabungkan dengan pekerjaan yang telah kami lakukan pada ekosistem karang mesofotik (kedalaman sedang) kepulauan Maluku sejak 2022, tidak hanya mengonfirmasi kehadiran Latimeria tetapi juga, lebih luas, keberadaan habitat coelacanth yang sesuai."
"Sementara itu, kami berharap penemuan ini akan mendorong otoritas lokal dan nasional untuk meningkatkan upaya konservasi di wilayah yang penuh kehidupan dan biodiversitas ini, yang sekarang dikonfirmasi menjadi rumah bagi salah satu spesies laut paling sulit ditangkap dan paling emblematic (ikonik) yang ditemukan di perairan Indonesia," tambahnya. (sci.news/Z-1)
Sekitar dua pertiga emisi metana di atmosfer berasal dari mikroba yang hidup di lingkungan tanpa oksigen, seperti lahan basah, sawah, dan perut hewan ternak.
Inti eksotis dari jenis ini sangat menantang untuk dipelajari karena umur pendek dan ukuran penampang produksinya yang rendah, sehingga diperlukan teknik yang tepat.
Ilmuwan Indonesia Maila Dinia Husni Rahiem, dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, memimpin penyusunan dua jilid buku ilmiah menghimpun 164 artikel dari 20 negara
KONVENSI Sains, Teknologi, dan Industri Indonesia (KSTI) 2025 menyuguhkan paparan inspiratif dari ilmuwan asal Singapura, Profesor Lam Khin Yong di Sasana Budaya Ganesa.
Selama bertahun-tahun, sebuah struktur misterius di bawah Laut Utara, lepas pantai Norwegia, telah menjadi teka-teki besar bagi para ilmuwan
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved