Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
JIKA Anda membayangkan astronom profesional mengamati bintang lewat lensa teleskop seperti di film-film, pikirkan lagi. Kini, para ilmuwan langit bekerja dengan ribuan gambar digital yang diambil oleh kamera raksasa yang terpasang di teleskop besar.
Gambar-gambar ini bukan sekadar foto biasa, melainkan data ilmiah yang sangat kaya. Jumlahnya begitu banyak hingga tak mungkin dilihat satu per satu oleh manusia.
Sebagai gantinya, astronom menggunakan algoritma dan komputer untuk menganalisis data. Namun, bagaimana kita bisa memastikan algoritma itu bekerja dengan baik, jika sebagian besar gambar tak pernah dilihat langsung? Jawabannya: kita ciptakan gambar palsu yang sangat realistis, lalu latih algoritma dengan itu.
Kelompok riset saya mengembangkan PhoSim, sebuah perangkat lunak yang mampu mensimulasikan perjalanan foton—partikel cahaya—dari luar angkasa hingga mencapai sensor kamera teleskop di Bumi. PhoSim memperhitungkan turbulensi atmosfer, bentuk cermin teleskop, dan sifat listrik dari sensor, sehingga menghasilkan gambar "palsu" yang meniru kondisi nyata secara akurat.
Dengan gambar simulasi ini, astronom dapat menguji dan melatih perangkat lunak untuk mengoreksi distorsi pada data dari teleskop sungguhan. Misalnya, perbedaan suhu pada cermin teleskop bisa menyebabkan gambar buram (astigmatisme), dan angin di atmosfer atas dapat menggeser posisi bintang di citra. Dengan PhoSim, kita bisa mengenali pola kesalahan ini dan memperbaikinya.
Lonjakan data astronomi ini terutama datang dari teleskop-teleskop survei modern yang memetakan langit secara luas, seperti SDSS, Kepler, TESS, dan Euclid. Salah satu yang paling ambisius, Vera Rubin Observatory di Cile, akan segera memulai surveinya setelah “first light” resmi pada 23 Juni 2025. Teleskop ini dapat memotret seluruh langit selatan hanya dalam beberapa malam.
Tujuan survei-survei ini mencakup misi besar: memetakan distribusi bintang di Bima Sakti, mencari asteroid, menyusun peta tiga dimensi galaksi, mengidentifikasi planet baru, hingga melacak jutaan objek yang berubah-ubah seperti supernova. Semua ini menghasilkan puluhan terabyte data setiap malam—jumlah yang tak mungkin dianalisis tanpa bantuan algoritma cerdas.
Lebih banyak data berarti lebih banyak tantangan. Cuaca, sudut pengambilan gambar, hingga lokasi piksel di sensor bisa menyebabkan perbedaan hasil pengukuran. Tanpa pemahaman menyeluruh, perbedaan ini bisa menyesatkan. Di sinilah simulasi seperti PhoSim menjadi vital: membantu para ilmuwan memahami sumber kesalahan dan melakukan kalibrasi yang tepat.
Dulu, detail seperti ini mungkin diabaikan. Namun, di era teleskop supercanggih dan analisis presisi, perhatian pada setiap foton menjadi kunci untuk mengungkap rahasia semesta.
Dengan menggabungkan simulasi dan teknologi, astronom kini tak hanya bergantung pada apa yang terlihat, tetapi juga pada pemahaman menyeluruh terhadap bagaimana cahaya bekerja dalam perjalanan panjangnya dari bintang ke sensor kamera. Simulasi semacam ini membuka jalan menuju sains yang lebih akurat dan efisien dalam menghadapi banjir data astronomi yang terus mengalir tanpa henti. (Space/Z-2)
Menjelang operasional Vera Rubin Observatory di Cile, para astronom khawatir gangguan cahaya dari ribuan satelit.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved