Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
UNGU tampak di mana-mana: bunga lavender, batu ametis, buah plum, terong, hingga kupu-kupu purple emperor. Namun jika Anda melihat spektrum cahaya tampak secara ilmiah, warna ungu — berbeda dari nila atau violet — ternyata tidak benar-benar ada di dalam spektrum cahaya.
Mengapa bisa begitu? Jawabannya mengejutkan: warna ungu mungkin hanya ada dalam pikiran kita, hasil dari cara otak manusia memproses cahaya.
“Sebenarnya, tidak ada warna yang benar-benar ‘ada’. Semua adalah hasil kerja sistem saraf kita,” jelas Zab Johnson, Direktur Eksekutif di Wharton Neuroscience Initiative, University of Pennsylvania. “Itulah keindahan sekaligus kerumitan dari persepsi warna.”
Semua warna berasal dari cahaya. Sinar matahari memancarkan berbagai panjang gelombang elektromagnetik, dari gelombang panjang seperti inframerah dan gelombang radio, hingga gelombang pendek seperti sinar ultraviolet dan sinar-X yang berbahaya bagi tubuh manusia.
Hanya sebagian kecil dari spektrum ini — sekitar 0,0035% — yang bisa kita lihat, dikenal sebagai cahaya tampak. Inilah yang menciptakan warna pelangi: merah di ujung spektrum panjang gelombang, lalu jingga, kuning, hijau, biru, hingga violet di ujung pendek.
Di mata manusia, terdapat tiga jenis sel reseptor cahaya yang disebut cones atau kerucut:
Ketika cahaya mengenai mata, setiap jenis cone menangkap panjang gelombang tertentu dan mengirimkan sinyal ke otak. Otak lalu menghitung rasio dari ketiganya dan menciptakan persepsi warna.
Misalnya, jika cone merah dan hijau aktif bersamaan, otak menyimpulkan kita melihat warna jingga atau kuning. Jika hijau dan biru aktif, maka warna yang muncul adalah toska (teal).
Berbeda dengan warna lain, ungu tidak berasal dari satu panjang gelombang tertentu. Ungu muncul ketika cone merah dan biru aktif bersamaan — dua ujung spektrum yang sebenarnya tidak saling berdekatan. Karena tidak ada gelombang cahaya dengan kombinasi ini, otak kita "membengkokkan" spektrum linear menjadi sebuah lingkaran warna dan menciptakan warna ungu.
Itulah mengapa ungu disebut sebagai warna non-spektral, artinya ia tidak ada sebagai panjang gelombang cahaya tunggal. Warna spektral seperti merah, kuning, atau biru memiliki panjang gelombang tersendiri, sementara ungu terbentuk dari gabungan dua panjang gelombang.
Meski secara ilmiah tak "nyata", ungu telah memikat manusia selama ribuan tahun. Menurut Narayan Khandekar dari Harvard Art Museums, bangsa Fenisia kuno bahkan menggiling ribuan siput laut demi menciptakan warna Tyrian purple, yang saat itu hanya dipakai oleh para bangsawan atau pemimpin agama.
Kini, ungu masih identik dengan kemewahan, kekuasaan, dan mistisisme. “Keterkaitan itu masih kuat, meski kini kita memiliki banyak versi ungu buatan,” kata Khandekar.
“Ungu tidak benar-benar ada di alam. Karena itu, ketika kita berhasil menciptakannya, ia terasa lebih istimewa,” ujar Johnson.
Jadi, apakah ungu nyata? Secara fisik, tidak sepenuhnya. Tapi dalam persepsi manusia, ia sangat nyata dan bahkan penuh makna. Baik tercipta dari kombinasi sinyal saraf maupun hasil seni kuno dari kerang laut, ungu membuktikan bahwa warna tak hanya berasal dari cahaya — tetapi juga dari imajinasi. (Live Science/Z-2)
Keterbatasan ketersediaan spektrum semakin menghambat kemampuan Indonesia untuk memperluas layanan 5G dan mencapai adopsi yang luas.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved