Headline
Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.
Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.
PESAWAT luar angkasa yang menggunakan propulsi listrik dapat segera lebih terlindungi dari dampak knalpotnya sendiri, berkat simulasi baru dengan superkomputer.
Propulsi listrik adalah alternatif yang lebih efisien dibandingkan dengan roket kimia tradisional dan semakin banyak digunakan dalam misi luar angkasa. Teknologi ini pertama kali diterapkan pada prototipe di misi Deep Space 1 milik NASA tahun 1998 dan SMART-1 milik Badan Antariksa Eropa (ESA) pada 2003. Teknologi ini kemudian digunakan dalam misi sains besar seperti misi Dawn dan Psyche milik NASA menuju sabuk asteroid. Bahkan, ada rencana untuk menggunakannya pada stasiun luar angkasa Lunar Gateway milik NASA.
Konsep di balik propulsi listrik adalah arus listrik yang mengionisasi atom gas netral, seperti xenon atau krypton, yang disimpan di pesawat luar angkasa. Proses ionisasi ini menghasilkan awan ion dan elektron. Prinsip yang disebut Hall effect menciptakan medan listrik yang mempercepat ion dan elektron tersebut, menyalurkan mereka menjadi semburan berwarna biru yang khas dengan kecepatan lebih dari 60.000 km/jam. Karena itu, sistem propulsi listrik juga disebut sebagai mesin ion.
Menurut hukum ketiga Sir Isaac Newton, setiap aksi menghasilkan reaksi yang sama besar dan berlawanan arah. Semburan ion yang keluar dari pesawat luar angkasa menciptakan dorongan.
Namun, karena semburan ion cukup tipis meskipun bergerak dengan kecepatan tinggi, impuls yang dihasilkan tidak sekuat roket kimia. Meskipun begitu, mesin ion membutuhkan lebih sedikit bahan bakar dan mengurangi massa peluncuran, sehingga mengurangi biaya, serta tidak cepat menghabiskan bahan bakar seperti roket kimia.
Energi untuk medan elektromagnetik biasanya disuplai oleh panel surya. Oleh karena itu, teknologi ini kadang disebut sebagai solar electric propulsion. Namun, untuk misi yang lebih jauh dari Matahari, di mana sinar matahari lebih lemah, daya nuklir seperti radioisotope thermoelectric generators (RTG) juga dapat digunakan untuk mendukung propulsi listrik.
Meskipun propulsi listrik telah matang dan digunakan dalam berbagai misi, teknologi ini belum sempurna. Salah satu masalah utamanya adalah semburan ion dapat merusak pesawat luar angkasa. Meskipun semburan diarahkan menjauh dari pesawat, elektron dalam semburan dapat berbalik arah, bergerak melawan arah semburan, dan menabrak pesawat luar angkasa, merusak panel surya, antena komunikasi, dan komponen lainnya. Tentu saja, ini berbahaya bagi pesawat.
“Untuk misi yang berlangsung bertahun-tahun, mesin propulsi listrik harus beroperasi dengan lancar dan konsisten dalam waktu lama,” kata Chen Cui dari University of Virginia School of Engineering and Applied Science dalam sebuah pernyataan.
Sebelum solusi dapat diterapkan untuk melindungi pesawat luar angkasa dari elektron yang berbalik arah ini, perilaku elektron dalam semburan mesin ion perlu dipahami terlebih dahulu. Inilah peran Cui dan Joseph Wang dari University of Southern California. Mereka melakukan simulasi superkomputer terhadap semburan mesin ion, memodelkan perilaku termodinamika elektron dan bagaimana mereka memengaruhi karakteristik semburan secara keseluruhan.
“Partikel-partikel ini mungkin kecil, tetapi gerakan dan energinya memainkan peran penting dalam menentukan dinamika makroskopik semburan yang dihasilkan oleh mesin propulsi listrik,” kata Cui.
Cui dan Wang menemukan elektron dalam semburan berperilaku berbeda tergantung pada suhu dan kecepatannya. “Elektron itu seperti kelereng yang terisi penuh dalam sebuah tabung,” kata Cui.
“Di dalam semburan, elektron panas dan bergerak cepat. Suhu mereka hampir tidak berubah jika mengikuti arah semburan. Namun, jika 'kelereng' keluar dari tengah tabung, mereka mulai mendingin. Pendinginan ini lebih banyak terjadi pada arah yang tegak lurus terhadap arah semburan.”
Dengan kata lain, elektron di inti semburan yang bergerak paling cepat memiliki suhu yang relatif konstan. Tetapi elektron di luar inti semburan mendingin lebih cepat, melambat, dan keluar dari semburan, sehingga berpotensi kembali ke pesawat luar angkasa.
Dengan pemahaman baru ini tentang perilaku elektron dalam semburan ion, para ilmuwan dapat memasukkan temuan ini ke dalam desain mesin propulsi listrik masa depan. Mereka dapat mencari cara untuk membatasi efek balik (back-scatter) atau mungkin mengarahkan elektron agar tetap berada di inti semburan. Pada akhirnya, ini dapat membantu misi yang menggunakan propulsi listrik untuk menjangkau lebih jauh dan bertahan lebih lama, didorong oleh semburan ion biru yang lembut. (Space/Z-3)
Sinyal radio tak biasa yang muncul dari bawah es Antartika tengah membingungkan para ilmuwan fisika partikel. Temuan ini berasal dari pengamatan Antarctic Impulsive Transient Antenna (ANITA)
Mengapa luar angkasa tampak gelap meskipun Matahari bersinar terang dan miliaran bintang menghuni jagat raya? Pertanyaan ini menjadi topik menarik yang sering dicari di Google.
Luar angkasa masih terlihat gelap, padahal ada miliaran bintang yang bersinar. Simak penjelasan ilmiahnya berikut.
LUAR angkasa menjadi salah satu simbol imajinasi yang tanpa batas sekaligus mengajak kita untuk bermimpi lebih tinggi.
Katy Perry mengungkapkan penerbangannya ke luar angkasa bersama Blue Origin pada 14 April 2025 telah menjadi pengalaman yang sangat emosional dan transformatif.
Setelah kembali dari misi luar angkasa bersejarah bersama kru perempuan pertama Blue Origin, Gayle King dan Lauren Sánchez buka suara menanggapi kritik.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved