Headline

Tingkat kemiskinan versi Bank Dunia semakin menjauh dari penghitungan pemerintah.

Fokus

Perluasan areal preservasi diikuti dengan keharusan bagi setiap pemegang hak untuk melepaskan hak atas tanah mereka.

Sulitnya Menghalau Konten Negatif di TikTok

Putri Rosmalia
19/9/2020 01:15
Sulitnya Menghalau Konten Negatif di TikTok
(Dok. 123RF)

SEIRING dengan perkembangan media sosial, tayangan-tayangan sensitif hingga yang mengandung kekerasan semakin mudah dan
marak bermunculan. 

Munculnya aplikasi TikTok dalam beberapa tahun belakangan pun membuat konten-konten tersebut lebih cepat tersebar dan dilihat banyak orang. Seperti yang baru saja terjadi pada pekan lalu, 7 September 2020, sebuah video yang menanyangkan adegan bunuh diri seorang pria asal Mississippi, Amerika Serikat, dengan menggunakan pistol, menyebar dengan cepat di aplikasi media sosial asal Tiongkok tersebut. 

Video yang awalnya tayang di Facebook itu dengan sangat cepat menyebar di TikTok, melebihi penyebarannya di Facebook. TikTok memiliki fitur yang berbeda dengan media sosial lain seperti Facebook dan Twitter

Facebook dan Twitter hanya akan menayangkan aktivitas dari akun yang sudah menjalin pertemanan di halaman utama setiap akun. Sebaliknya, TikTok akan menampilkan semua tayangan yang dianggap terkait dengan minat dan kebiasaan setiap akun selama menggunakan aplikasi tersebut.

Fitur tayangan tanpa filter tersebut hadir di halaman For You Page. Tidak ada tayangan singkat, footage, atau thumbnail dari konten yang akan ditayangkan terlebih dulu. Dengan begitu, ketika menggeser layar, video apa pun akan otomatis terputar tanpa ada peringatan.

Selain itu, berbagai konten sensitif lain juga dapat dengan mudah diakses secara sengaja. Melalui pencarian konten menggunakan tagar, konten-konten sensitif akan bermunculan tanpa adanya penyaringan berarti.

Salah satu contoh konten sensitif yang membanjiri TikTok ialah video mengenai perilaku kelainan makan atau anoreksia. Video banyak orang yang mempraktikkan sikap anoreksia dapat dengan mudah ditemui hanya dengan mengetik tagar #flatstomach.

Begitu juga dengan konten sensitif lainnya, yang berbau seksual atau pelecehan. Para pengguna TikTok juga kerap memunculkan tantangan atau permainan yang membahayakan. Terbaru yang sempat viral, muncul tantangan bernama Benadryl Challenge. 

Para remaja pengguna TikTok saling menantang untuk mengonsumsi obat Benadryl yang berfungsi untuk mengatasi alergi tersebut. Mengonsumsi Benadryl dalam jumlah besar diklaim dapat membuat seseorang menjadi mabuk. 

Namun, tantangan itu sudah terbukti membahayakan. Seorang remaja berusia 15 tahun asal Oklahoma, AS, meninggal karena overdosis obat setelah mengikuti Benadryl Challenge. Ketidakseriusan TikTok dalam berupaya menayangkan konten-konten yang sehat itu mendapat kecaman dari banyak kalangan di dunia. 

Salah satunya dari Perdana Menteri Australia Scott Morrison. Morrison mengatakan bahwa Australia tidak akan tinggal diam melihat adanya perusahaan media sosial yang tidak bertanggung jawab.

“Anda bertanggung jawab memastikan produk Anda tidak membahayakan rakyat Australia,” ujar Morrison, seperti dilansir  ailytelegraph.co.au.


Autodeteksi

Juru bicara TikTok, Hillary Mcquaide, mengatakan sistem di TikTok akan secara otomatis mendeteksi dan menandai videovideo yang mengandung kekerasan, terutama adegan bunuh diri. Saat ini TikTok juga tengah berupaya menghapus setiap video bunuh diri yang sudah telanjur tersebar di aplikasi itu.

“Kami jelas-jelas melarang konten video yang menyiarkan, mendukung, atau mempromosikan kegiatan bunuh diri. Kami akan menghapus akun yang berulang kali mencoba mengunggah klip bunuh diri,” ujar Mcquaide, seperti dilansir buzzfeednews.com (8/9).

Aplikasi yang digarap oleh perusahaan ByteDance tersebut juga mengatakan secara berkala menghapus video-video yang dianggap melanggar aturan dan keamanan. Pada Juli 2020, TikTok menghapus setidaknya 49 juta video dari seluruh dunia.

Namun, jumlah itu hanya setara 1% dari total video yang diunggah ke aplikasi tersebut pada semester kedua 2019. Video-video yang dihapus umumnya mengandung unsur kekerasan, seksual, hingga obat-obatan terlarang.

Mcquaide juga mengatakan setiap pemilik akun TikTok dapat melaporkan bila mendapati ada konten atau video yang mengandung kekerasan atau tidak mereka sukai. Nantinya, tim TikTok akan memantau dan memelajari video tersebut untuk diputuskan langkah selanjutnya.

Kalangan orangtua di berbagai negara saat ini juga mendesak TikTok untuk bisa lebih serius menyaring setiap konten yang ditayangkan. Pada awal 2020 TikTok sempat mengeluarkan fitur Safety Mode Family. 

Dengan mengaktifkan fitur itu pada akun TikTok, orangtua dapat mengetahui aktivitas akun TikTok anakanak mereka. Namun, fitur hanya berguna bila sang anak menggunakan TikTok yang sudah terkoneksi dengan orangtuanya. Bila mereka membuat lagi akun TikTok baru, Safety Mode Family tak akan bermanfaat.

Selain itu, pihak TikTok juga tidak menjelaskan cara kerja Safety Mofe Family dalam menyaring berbagai konten yang masuk ke akun milik anak di bawah umur. Saat ini sudah ada negara yang secara total memblokir TikTok, yakni India.  Pemblokiran dilakukan karena India sempat bersitegang dengan Tiongkok. Selain TikTok, ada 58 aplikasi buatan Tiongkok lain yang juga diboikot. Amerika Serikat pun berniat memblokir TikTok. 

Bukan karena kekerasan pada kontennya, melainkan dicurigai aplikasi itu dapat membocorkan data pengguna ke pemerintah Tiongkok. Saat ini, ByteDance tengah bernegosiasi untuk menghindari blokade tersebut. Salah satu opsi yang dipertimbangkan ialah pengembang menjual sahamnya kepada investor AS yang memungkinkan sang investor terlibat dalam pengambilan kebijakan strategis.

Di Indonesia, pemerintah sempat ingin memblokir TikTok pada 2018 lantaran konten-kontennya. Namun, rencana tersebut dibatalkan. Pemerintah mengizinkan kembali TikTok beroperasi asal memberikan jaminan tidak akan menayangkan konten negatif seperti pornografi dan SARA.

Pakar hukum IT dari Universitas Padjadjaran Bandung, Danrivanto Budhijanto, mengatakan setiap perusahaan penyedia aplikasi harus bisa menjamin bahwa aplikasinya tidak menayangkan konten-konten negatif. 

Sayangnya, di Indonesia, belum ada aturan jelas mengenai pengaturan dan pengawasan terhadap aplikasi media sosial. Karena itu, konten-konten bermuatan negatif masih kerap lolos dari pengawasan.

“Itu harus diperhatikan oleh pemerintah agar ada aturan bagi perusahaan dalam menghadirkan konten-konten yang sesuai dengan kondisi bangsa,” ujar Danrivanto. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya