Legenda Berakhir tanpa Mahkota

Akhmad Mustain Wartawan Media Indonesia
28/6/2016 01:45
Legenda Berakhir tanpa Mahkota
(Mike Stobe/Getty Images/AFP)

KAUSNYA diangkat hingga menutupi kepalanya, begitu eksekusi penalti Lucas Biglia dimentahkan kiper Cile, Claudio Bravo.

Mirip seekor kura-kura yang tengah menyembunyikan kepalanya ke dalam tempurung kala merasakan ancaman.

Ya begitulah Lionel Messi, setelah gagal sebagai eksekutor pertama dalam adu tos-tosan, mungkin menangkap sinyal Cile akan kembali perkasa menaklukkan Argentina untuk merebut gelar Copa America Centenario 2016.

Benarlah, Cile pun kembali membawa pulang Copa America setelah penendang penalti terakhir mereka, Francicso Silva, mampu mengecoh Sergio Romero.

Tiga kali Argentina berada di partai puncak dalam tiga tahun terakhir dengan hasil yang sama, gagal bermahkota.

Di final Piala Dunia 2014, Messi takluk oleh gol semata wayang yang diceploskan penyerang Jerman Mario Goetze.

Tahun lalu, Messi dipaksa pulang dengan muka tertunduk oleh Cile lewat adu penalti di final Copa America.

Sulit untuk diterima bagi para fan Argentina.

Kedigdayaan 'sang Mesiah' sebagai pemilik gelar lima kali pemain terbaik dunia, serta seabrek trofi di level klub bersama Barcelona, seakan sirna.

Air matanya kembali mengucur.

Akal sehat pun berkecamuk, kenapa Messi bersama Argentina mesti tiga kali terperosok dalam situasi yang sama?

Karena keledai pun hanya jatuh dua kali ke lubang yang sama.

Padahal, turnamen Copa America Centenario diprediksi menjadi panggung akbar bagi Messi untuk mencatatkan sejarah mengingat usianya sudah menginjak 29 tahun, masa-masa emas bagi seorang pesepak bola.

Di turnamen akbar selanjutnya, yakni Piala Dunia 2018 dan Copa America 2019, Messi sudah memasuki kepala tiga, untuk standar penyerang sudah masuk masa veteran.

Meski menipis, kesempatan Messi masih terbuka menjuarai Piala Dunia 2018 dan bersanding sebagai dewa sepak bola Argentina bersama Diego Maradona.

Beberapa legenda sampai gantung sepatu tidak berhasil mempersembahkan mahkota.

Tengok saja Zlatan Ibrahimovic.

Meski mengantongi sejumlah gelar di level klub bersama Ajax Amsterdam, Juventus, Inter Milan, Barcelona, AC Milan, dan PSG, Ibra tak kunjung sekali pun mengantarkan trofi bagi the Blue-Yellow, julukan Swedia.

Setelah menjadi raja gol di liga-liga elite Eropa, Ibrahimovic harus mengakhiri pertandingan terakhirnya bersama Swedia dengan kekalahan 0-1 dalam babak penyisihan Grup E Piala Eropa 2016.

'Ibracadabra' datang ke Prancis sebagai top scorer Ligue 1.

Namun, peruntungan terakhirnya nirgelar.

Sebagai top scorer sepanjang masa Swedia dengan 62 golnya, ia menyudahi turnamen akbar 'Benua Biru' dengan nirgol.

Legenda hidup sepak bola Swedia yang menurut pelatih mereka, Erik Hamren, sulit dipunyai kembali itu gagal membawa tim negaranya lolos dari fase grup.

Langkah pensiun juga tampaknya akan diambil legenda Republik Ceko, Petr Chech, seusai Piala Eropa.

Chech merupakan salah satu kiper terbaik dunia dalam 10 tahun terakhir.

Sama seperti Ibra, Chech bergelimang trofi bersama klub yang paling lama dibelanya, Chelsea.

Pada musim 2011-2012 ia menjadi tumpuan Chelsea yang menerapkan permainan bertahan, meraih juara Liga Champions Eropa.

Menorehkan 121 penampilan di level internasional bersama timnas Ceko meneguhkan Chech sebagai legenda negaranya.

Namun, kiprah Chech bersama Ceko dapat dikatakan jauh dari gemilang.

Raihan terbaiknya hanya membawa Ceko sebagai semifinalis Piala Eropa 2004. (R-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Vicky
Berita Lainnya