Headline
Disiplin tidak dibangun dengan intimidasi.
LEICESTER City sudah menunjukkan cara untuk memenangi sebuah turnamen yang melelahkan.
Setelah berjibaku selama semusim, the Foxes akhirnya keluar sebagai kampiun sekaligus menampar dominasi klub-klub kaya, seperti Manchester City, United, Arsenal, Chelsea, dan Liverpool.
Jika pasukan Claudio Ranieri bisa membuat para pecinta sepak bola melongo keheranan, bukan tak mungkin hal yang sama akan terjadi di Euro 2016.
Namun, bukan 'si Rubah' yang akan melakukannya, melainkan 'si Naga' Wales.
Wales merupakan salah satu tim yang kini diperhitungkan sebagai perwujudan Leicester di Euro 2016.
Tim besutan Chris Coleman itu mengantongi beberapa faktor yang sama dengan Leicester saat menjuarai Liga Primer.
Pertama, keduanya sama-sama tak diunggulkan menjadi juara di awal kompetisi.
Rasanya hanya warga Wales dan pecinta Gareth Bale garis keras yang memprediksi negara tetangga Inggris itu bakal menjadi juara Euro 2016, tidak hanya juara Grup B.
Kedua, Leicester dimotori hanya beberapa pemain bagus, terutama di barisan depan.
Wales pun demikian.
Mereka mengandalkan Gareth Bale, Aaron Ramsey, dan Joe Allen sebagai gelandang serang yang menjadikan the Dragons salah satu tim dengan barisan tengah terbaik Piala Eropa tahun ini.
Tak bisa ditampik bahwa Bale memang lebih menjadi tumpuan daripada Allen atau Ramsey.
Ia bak seorang diri menarik gerbong Wales untuk sampai di perempat final.
Pemain berusia 26 tahun itu merupakan penjaring separuh dari total enam gol yang dibukukan Wales di Grup B.
Namanya pun kini sejajar dengan Milan Baros (Republik Ceko) dan Ruud van Nistelrooy (Belanda) yang mampu mencetak gol dalam tiap laga fase grup.
Tak mengherankan jika Bale dianggap sebagai pahlawan nasional, terutama karena Wales pun akhirnya finis sebagai juara Grup B di atas sang tetangga sekaligus musuh bebuyutan, Inggris.
Dalam laga 16 besar kontra Irlandia Utara, kemarin, sosok Bale pun amat kentara sebagai pemimpin tim.
Ia seperti menyetir mental rekan-rekannya untuk tetap tenang meski serangan lawan membombardir pertahanan mereka.
Bale pula yang akhirnya melepas umpan silang yang membuat bek karismatik Norn Iron, Gareth McAuley, menceploskan gol bunuh diri.
Negara mana pun yang menghadapi Wales paham bahwa mereka harus mematikan Bale jika ingin mengalahkan 'tim Naga'.
Namun, sama seperti Leicester, lawan-lawan tahu bahwa mereka harus menghentikan Riyad Mahrez, tapi tak ada yang sanggup melakukannya.
Ketiga, yang paling penting, Wales dinaungi keberuntungan besar di Prancis 2016 ini.
Berkat menjuarai Grup B, mereka terhindar dari 'grup maut' di babak gugur dan menyerahkan posisi itu kepada Inggris.
Tak akan ada final antara Italia versus Jerman karena jika kedua tim lolos dari babak 16 besar, partai itu akan terjadi di perempat final.
Jangan pula berharap Prancis dan Spanyol bertarung di Stade de France, stadion final Euro 2016, karena mereka paling beruntung bakal jumpa di semifinal.
Para pecinta Liga Primer yang mendukung Inggris pun wajib berdoa lebih kencang jika ingin melihat tim mereka di partai puncak.
Pasalnya, the Three Lions, yang punya barisan depan yang lebih banyak melamun daripada mencetak gol, berada satu akar dengan tim-tim raksasa tersebut dan mereka harus menyingkirkan tim yang paling potensial menghadirkan kejutan di Euro 2016 ini, yaitu Islandia.
Coleman pernah menegaskan ia dan timnya tak ingin bermimpi berlaga di final karena sejak awal memang tidak ditargetkan sampai ke sana.
Namun, itu juga yang dikatakan Ranieri ketika Leicester City di ambang juara, bukan?
(R-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved