Ilustrasi: Pingkan Patricia
Penghibur
Gairah di ujung pena,
mengungkap tawa jiwa menguap.
Mengais kata meski debu endap di pikiran.
Kekelaman menjadi tema
melupakan bahagia bagi pencari
cinta dan senja sebagai pahlawan.
Puisi-puisiku bercabang mata air
liar tak mengapa, biar bak bualan,
kadang menggombal saat asmara tiba.
Serupa peneduh hati; kocar-kacir
sekilas memandang, kembali mengulang
Tangerang, September 2021
Sembunyikan Senja
Kekasih,
kutuliskan ini surat penuh bahagia
pada diam aku ingin bercumbu mesra.
Sayang,
apa kau ingat;
saat berlari tak jua sampai,
merebah tubuh singgah ke pantai, kau malah berlalu.
Cinta,
Jika kau baca ini surat,
bungkam, berdiam, lebih baik
kau tahu di mana menemukanku
pada tempat; langit tudungnya, tanah sajadahnya.
Kekasih,
aku sudahi dulu
tak usah kau balas
sebab senja telah kusembunyikan.
Jakarta, 2021
Subuh
(1)
Malam beri ruang,
jeda sejenak pada hati yang lelah
mencari rasa bersusah payah seharian.
(2)
Sesosok roh
gentayangan di bibir jalan
tak singgah, berlalu begitu saja.
(3)
Pikiran mumet
melumat malam mencumbu jenuh
ah, sial aku!
Jakarta, 2021
Sempurna di rumah ibu, sebab pintu adalah doa.
Romansa Hujan
Aku ingin berkhayal
tentang dedaunan basah oleh embun
yang ujung gentengnya berirama sauh
lalu gerimis luruh menghapus jejak di tepian jalan
Kadang semesta berkuasa lain
menempatkan jiwa dalam tanda tanya
aku kuyup bukan oleh hujan
oh, air mata!
Jakarta, 2021
Bisik Tu(h)an dan Budak
Hidup Tu(h)an bagi budak
serupa rantai terali-terali kelam.
Merapal doa lalu memungut dosa
semua ini Tu(h)an tuntun penuh harap
menyembah, merangkak, meracau pahala.
Wahai Tu(h)an,
kami budak, tonggak nafsu tak adab
selangkah dekat, berlari jauh, penuh peluh.
Oh, Tu(h)an,
mengapa diam?
Bukankah kita selalu berbincang di malam pekat?
Tentang Tu(h)an
Engkau sungguh penyayang
aku budak sungguh tak tahu malu.
Jakarta, 2021
Jelmaan Puisi
Sedihku menjadi puisi
kata per kata menyayat hati
bagi yang peduli biasanya singgah, lalu pergi
Dosa dan doa tidak bercampur
aku menatap gulma kental berlafaz syair sajak,
sejak dalam rahim ibu tampak bahagia sempurna.
Aku, kamu, puisi
menjelma penyelamat
di jalan menemukan Tuhan
sebab ada ruh yang tak kelam
serta Tuhan yang tidak pernah kejam.
Jakarta, 6 April 2020
Senja di Sydney
Matahari mencumbu tubuhku
burung paruh panjang mondar mandir,
aku ingin beri roti tapi tak sampai hati
Jiwa dan pikiran seakan tinggal abadi
menyusuri jalan bising, pesing, pusing
menghitung koin tersisa pemuas dahaga.
Senja tiba, ada mimpi belum tuntas
aku berjalan terus, selip seonggok kenangan
kelak bersua kembali, susuri jalan panjang Harbour Bridge.
Kudung malam tiba, langit berpendar
aku biarkan puisi-puisi kering di bangku taman.
Sydney, Maret 2018
Cinta Ibu
Ibu memberi cintanya
dalam cobek cabai belacan
menciptakan sabar saat memisahkan
kentang kecil di antara lezatnya rendang.
Ibu menyambut pagi
menumis tahu, aku kenyang kasih sayang
rumah sebagai tempat berpulang para perantau
cinta Ibu tidak mengenal kata habis
Ibu, aku lapar.
Palembang, September 2020
Di Rumah Ibu
Di rumah ibu,
beban menunggu sabar
di pagar enggan masuk, meski aku mengajaknya.
Di rumah ibu,
aku menjelma bayi
tak ingin tahu apa pun,
piring berisi cinta, dahaga bercawan sejuk.
Di rumah ibu,
malam tak mengganggu
Lelapku sempurna, letihku tiada.
Saat melangkah ke pintu
beban menyapa, merengek manja
minta gendong ke mana-mana
Sempurna di rumah ibu,
sebab pintu adalah doa.
Jambi, Mei 2020
Renggi Putrima, jurnalis dan penikmat puisi, kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, Riau, pada 9 Oktober 1990. Ia adalah lulusan Universitas Sumatera Utara pada 2011. Selepas tamat, mengawali karir profesional dalam dunia jurnalistik bersama Metro TV sejak 2012. Berawal sebagai reporter dan kini menduduki posisi produser. Aktif berkegiatan sebagai co-curator di Sajak Kofe sebagai bagian dalam mengaktualkan sastra yang digemarinya. (SK-1)