Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
KATA ulama dan umara adalah dua kosakata yang sering menimbulkan kerancuan di dalam masyarakat. Hal itu karena tidak sedikit ulama yang menjadi umara (pemerintah) dan tidak sedikit pula umara yang juga memiliki kapasitas sebagai ulama.
Alquran membedakan entitas kedua kata tersebut sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(-Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya,” (QS al-Nisa’/4:59).
Ayat tersebut menjelaskan kepada kita bahwa tidaklah tepat mendikotomikan peran ulama dan umara.
Ulama adalah representasi fungsi kenabian yang bertanggung jawab untuk menuntun masyarakat, termasuk pemerintah, agar tetap di atas jalan yang benar, sebagaimana dijelaskan Rasulullah: Al-‘ulama’ waratsah al-anbiya’ (ulama adalah ahli waris Nabi).
Adapun pemerintah (umara) adalah pemimpin eksekutif yang bertanggung jawab terhadap jalannya pemerintahan, yang dalam menjalankan kepemerintahan tersebut tidak boleh bertentangan dengan prisip yang dituntunkan oleh para ulama.
Ulama adalah representasi dan sekaligus pengawal ajaran Alquran dan hadis, sedangkan umara lebih pada implementator dari kebijakan universal yang digariskan oleh ulama.
Kedua-duanya berfungsi untuk mewujudkan masyarakat yang ideal, sebuah masyarakat yang mandiri dan berjalan di atas landasan dan prinsip yang benar.
Tidak boleh satu sama lain kemudian mengklaim diri lebih benar atau lebih berperan.
DALAM konteks nation state, kehadiran, fungsi, dan peran ulama berbeda-beda di setiap negara.
Ada negara yang memberikan fungsi pengawasan dan sekaligus penentu kebijakan secara mutlak, dalam arti rumusan kebijakan pemerintah (umara) harus mendapatkan persetujuan dan legitimasi terakhir dari otoritas ulama.
Negara seperti ini antara lain Negara Republik Islam Iran, Afghanistan di bawah pemerintahan kelompok Taliban, dan beberapa negara Islam lainnya.
Ada juga yang negara yang menempatkan ulama sebagai simbol tata kelola negara, tetapi pemerintah (umara) lebih dominan di dalam penentuan kebijakan.
Di dalam konstitusi negara-negara tersebut jelas masih dicantumkan peran-peran ulama di dalamnya. Negara seperti ini ialah Brunei Darussalam dan sejumlah negara mayoritas berpenduduk muslim lainnya di dunia.
Di Indonesia, peran ulama jelas dan sudah menjadi konvensi. Meskipun ulama tidak dicantumkan di dalam UUD 1945, semangat Pembukaan UUD 1945 dan pencerminannya di sejumlah pasal dalam batang tubuh memberikan peran penting terhadap ulama, yang sejajar dengan pimpinan umat beragama lainnya.
Kita mengenal ada majelis-majelis agama di Indonesia, seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk agama Islam, Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) untuk agama Protestan, Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) untuk agama Katolik, dan majelis-majelis agama lainnya.
Domain atau urusan hukum positif merupakan domain pemerintah (umara), sedangkan domain hukum syariah merupakan domain MUI. Demikian pula untuk agama-agama lain.
Urusan internal suatu agama, seperti ajaran-ajaran dan problem internal setiap agama merupakan domain pemimpin agama.
Nanti jika ada masalah-masalah yang melibatkan publik barulah negara terlibat.
Penentuan sesat atau tidak sesatnya sebuah ajaran misalnya, bukanlah termasuk domain pemerintah, tetapi merupakan domain majelis-majelis agama.
Semangat Pembukaan UUD 1945 dan pencerminannya di sejumlah pasal dalam batang tubuh memberikan peran penting terhadap ulama.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved