Headline

Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.

Fokus

Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.

Jauhi Skandal Spiritual

Nasaruddin Umar Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta
13/6/2018 08:05
Jauhi Skandal Spiritual
(Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar -- ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

DALAM kosmologi Islam, skandal spiritual yang menyebabkan jatuhnya sejumlah makhluk dari langit kebahagiaan ke bumi merupakan penderitaan. Malaikat jatuh karena mereka membangkang (aba) dan takbut (istikbar).

Malaikat turun ke Baitul Ma'mur dari 'Arasy karena mempertanyakan kebijakan Tuhan (overkritis) dan menepuk dada sebagai ahli ibadah (al-'alin), sedangkan manusia jatuh ke bumi karena tidak kuat menahan nafsu.

Dalam sebuah hadis yang diceritakan di dalam kitab Ihya 'Ulum al-Din karya Imam Al-Gazali, ada seorang alim dan ahli ibadah yang semata-mata mencurahkan waktu dan pikirannya untuk mendekat-kan diri kepada Allah SWT. Ia banyak mengasingkan diri untuk menghindari kemungkinan terjadinya kontaminasi dosa dari orang-orang awam.

Suatu ketika seorang pelacur mencari ulama untuk curhat dan sekaligus meminta nasihat bagaimana meninggalkan dunia hitam yang selama ini degelutinya. Ia juga akan menanyakan masih adakah ha-rapan Tuhan memaafkan dan menerima tobatnya setelah malang melintang hidup di tengah lumpur dosa.

Saat mendengarkan keinginan itu, sang ahli ibadah menolak perempuan nakal itu dengan mengatakan, "Aku tidak mau menodai diriku karena berkomunikasi dengan orang kotor seperti itu." Ketika mendengar itu, Nabi mengatakan sang ahli ibadah itu penghuni neraka dan perempuan yang karena ketulusannya ingin bertaubat ialah penghuni surga.

Riwayat ini mengingatkan kita kepada QS al-Ma'un, yang intinya menjelaskan, kualitas keberagamaan seseorang tidak hanya diukur banyaknya ibadah mahdhah yang dilakukan, tapi juga ibadah sosial seperti memperhatikan nasib fakir miskin dan anak yatim piatu.

Bahkan, dalam surah itu juga dinyatakan celakalah bagi orang salat yang salatnya tidak membawa dampak sosial kemasyarakatan. Aktivitas ibadah dan spiritual yang dilakukan tanpa memedulikan lingkungan masyarakat tempat ia berada malah dikhawatirkan terjebak dengan apa yang disebut dengan ego spiritual atau kesombongan spiritual.

Ego spiritual ialah orang-orang yang terlalu mengedepankan hubungan vertikalnya dengan Tuhan tanpa mau tahu lingkungan masyarakat sekitarnya. Bahkan, ia cenderung menghindarinya karena seolah-olah dirinya sudah tidak selevel dengan mereka.

Ia mengklaim dirinya sebagai orang kelas atas dalam dunia spiritual. Ia memilih-milih sahabat dan menghindari orang-orang yang justru memerlukan perhatian dan kasih sayang serta bimbingan.

Jika orang-orang ini dijauhi lantas mereka semakin jauh dengan Tuhan, sementara kita dengan asyiknya beribadah sendirian tanpa kehadiran mereka yang boleh jadi menyita waktu, tenaga, pikiran, dan materi, kita termasuk kategori mementingkan ego spiritual.

Kesombongan spiritual tak ada ubahnya kesombongan duniawi yang lebih menekankan kebanggaan individual. Orang-orang seperti itulah yang disebut dalam Alquran tidak memiliki bekas-bekas (asar) sujud (atsar al-sujud).

Bekas sujud dalam Alquran bukan dengan sengaja menghitamkan dahi seperti dilakukan segelintir orang yang memahami secara tekstual ayat tadi. Asar sujud ialah komitmen sosial tinggi seseorang sebagai bagian dari penghayatan nilai-nilai ajaran agama.

Termasuk dalam kesombongan spiritual ialah menikmati pujian orang-orang yang mengaguminya lantaran banyaknya ibadah yang dilakukan.

Mungkin ia melaksanakan puasa Senin-Kamis, salat-salat rawatib, dan terus melakukan zikir lalu ia memandang enteng orang lain yang tidak sepertinya.

Amal-amal kebajikannya lebih banyak digunakan untuk mengaktualisasikan diri sehingga orang takjub dan ia menikmati pujian mereka.

Padahal, mungkin yang bersangkutan pada saat yang bersamaan meninggalkan yang terus-menerus dilakukan. Hanya karena keterampilannya menggunakan topeng, ia tidak dipermalukan orang lain.

Kesombongan spiritual tetap akan menjadi tantangan umat masa depan. Itu bahkan mungkin akan semakin meningkat seiring dengan berkembangnya alat komunikasi canggih yang dapat digunakan untuk memuji atau menerima pujian.

Semakin banyak yang memujinya semakin mabuk dengan pujian itu lantas rekayasa dilakukan sedemikian rupa agar orang lain memujinya. Subhanallah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya