Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
BERPUASA bukan sekadar menahan lapar, dahaga, dan berhubungan seks. Yang teramat penting, berpuasa sebagai latihan spiritual untuk mencontoh sifat-sifat Tuhan, sebagaimana dalam hadis takhallaqu bi akhlaqillah (berakhlaklah sebagaimana akhlak Allah SWT).
Alquran menyebutkan, "Huwa yuth'im wa la yuth'am (Tuhan memberi makan dan tidak diberi makan)" (QS 6:14) dan "lam takun lahu shahibah (Tuhan tidak memiliki pasangan)" (QS 6:101).
Internalisasi sifat-sifat Tuhan ke dalam diri merupakan perjalanan spiritual anak manusia untuk mendekatkan diri kepada Tuhan mereka. Semakin dekat jarak seorang hamba dengan Tuhannya semakin mulia hamba itu.
Di dalam berpuasa kita tidak boleh makan, minum, dan berhubungan seks. Sebaliknya, kita diwajibkan untuk berzakat fitrah, yaitu memberi makan kepada orang yang membutuhkan.
Harapan terakhir kita dengan menjalankan ibadah puasa agar kita mencapai kualitas muttaqin (orang-orang takwa), suatu kualitas spiritual yang paling mulia dan didambakan setiap orang. Ini sebagaimana dijelaskan dalam ayat: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa." (QS Al-Baqarah/2:183).
Kata muttaqun (orang-orang bertakwa) dalam ayat di atas sesungguhnya tidak lain ialah mengombinasikan sikap cinta, takut, dan segan kepada Allah SWT. Muttaqin tidak tepat diartikan takut kepada Allah SWT. Karena Allah SWT sebagaimana diperkenalkan kepada kita melalui al-asma' al-husna-Nya, bukan zat Maha Mengerikan untuk ditakuti, melainkan lebih menonjol sebagai Tuhan Maha Pencinta dan Maha Penyayang.
Apalagi terhadap manusia yang Allah ciptakan dengan cinta. Manusia, satu-satunya yang ditegaskan diciptakan dengan kedua tangan-Nya: Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku?
Apakah kamu menyombongkan diri ataukah kamu (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?" (QS Shad/38:75). Seluruh makhluk lain, termasuk malaikat, tidak ada penegasan seperti ini. Seolah-olah manusia ialah ciptaan langsung (hand made) Allah SWT.
Makna 'kedua tangan Tuhan' dibahas panjang lebar dalam kitab-kitab tafsir dan kitab-kitab tasawuf. Intinya Tuhan memiliki 'dua tangan' dalam arti kekuatan maskulin (jalaliyyah) dan kekuatan feminin (jamaliyyah).
Kedua 'Tangan Tuhan' digambarkan di dalam nama-nama indah-Nya yang dikenal dengan al-asma' al-husna. Internalisasi nama-nama dan sifat-sifat Tuhan ke dalam diri kita seperti dicontohkan pribadi Rasulullah SAW sangat penting.
Dalam perspektif tasawuf, al-asma' al-husna tidak hanya menunjukkan sifat-sifat Allah SWT, tetapi juga menjadi titik masuk untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya.
Setiap orang dapat mengakses dan mengidentifikasikan diri dengan nama-nama tersebut. Seseorang yang pernah berlumur-an dosa lalu sadar dapat menghibur diri dan membangun rasa percaya diri dengan mengidentifikasi diri dengan nama al-Gafur (Maha Pengampun) dan al-Tawwab (Maha Penerima Tobat) sehingga orang tetap mempunyai harapan dan tidak perlu kehilangan semangat hidup.
Bukankah di antara 99 nama itu sifat-sifat kasih Tuhan lebih dominan? Bukankah pada setiap surah dalam Alquran selalu diawali dengan Bismillah al-rahman al-rahim, yang intinya menonjolkan kemahapengasihan (rahmaniyyah) dan kemaha-penyayangan (rahimiyyah) Tuhan?
Salah satu bentuk kemahapengasihan Tuhan ialah meng-anugerahkan bulan Ramadan (secara harfiah: penghancur, penghangus). Setelah 11 bulan hamba-Nya terasing di dalam kehidupan yang kering, dalam Ramadan ini kita diajak kembali ke kampung halaman rohani, yang basah dan menyejukkan, serta penuh dengan suasana lembut (nurturing). Bulan puasa ibarat oasis yang siap memberi kepuasan spiritual kepada orang yang menjalaninya dengan ikhlas dan sepenuh hati.
Agak aneh memang, Tuhan yang sedemikian lembut menampilkan diri-Nya, ayat-ayat Alquran sedemikian santun menyapa anak manusia, dan Nabi Muhammad SAW tampil sedemikian menawan, lebih menonjolkan sikap-sikap kelembutan dan kesantunan. Akan tetapi, umat Islam sebagian bertentangan perilakunya dengan sifat-sifat Tuhan dan yang dilakukan Nabi.
Islam tidak pernah menoleransi pemeluknya melakukan tindakan kekerasan. Bukan karena kepentingan diplomasi, melainkan substansi kekerasan itu sendiri tidak sejalan dengan sifat-sifat utama Tuhan, sebagaimana diperkenalkan dalam al-asma' al-husna'-Nya. Allahu a'lam.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved