Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
PUASA sejatinya ialah untuk mencapai derajat takwa. Orang yang bertakwa senantiasa aktif membentuk dirinya, sehingga istikamah dalam beribadat, berakhlak mulia, dan mampu menebar kebaikan sesama umat maupun sesama anak bangsa.
Namun, rentetan tragedi yang terjadi belakangan ini seolah melupakan bahwa sebagai sesama anak bangsa kita harus selalu berbuat kebaikan.
“Karena itu marilah kita jangan sok suci. Kalau membunuh orang kemudian merasa benar. Berpikirlah seribu kali atau dua ribu kali untuk mencelakaan orang. Peristiwa yang terjadi belakangan itu karena klaim merasa benar sendiri,” kata Ustaz H Imam Addaruqutni saat memberikan kuliah tujuh menit (kultum) salat tarawih di Masjid Nursiah Daud Paloh, Kompleks Media Group, Kedoya, Jakarta Barat, Rabu (16/5).
Ia mengatakan, dalam Alquran, konstruksi kebangsaan lebih mengacu kepada persaudaraan antarsuku-suku yang saling mengenal. Persaudaraan antarsuku merekatkan umat, dan persaudaraan bisa terjalin melalui perkenalan (taaruf).
“Sebenarnya, bangsa dan negara dalam Alquran tidak digambarkan seperti adanya negara Indonesia, Thailand, dan sebagainya. Tidak ada konstruksi seperti itu dalam Alquran. Yang ada ialah dimensi sejarah. Manusia itu bersuku-suku, saling mengenal, dan mengedepankan kebaikan manusia,” kata Imam yang juga Sekretaris Jenderal Dewan Masjid Indonesia (DMI) tersebut.
Dalam konteks kebangsaan, ujarnya, masyarakat Indonesia ialah masyarakat yang majemuk. Bangsa ini memiliki identitas yang begitu plural. Oleh karena itu, segala perdebatan yang muncul ke permukaan dan berpotensi memicu pertikaian, harus dihindari. Alquran, punya jawaban soal itu.
“Kalau berdebat, berdebatlah dengan kiasan. Yang dikatakan debat itu bukan gontok-gontokan. Quran menyindir manusia, kalau gontok-gontokan itu merasa benar sendiri. Kembali ke taaruf itu,” katanya.
Imam menjelaskan, taaruf sejatinya ialah perkenalan. Dalam surah Al Hujurat ayat 13 disebutkan, “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.”
Karena itu, ujarnya, watak manusia yang merasa tahu kebenarannya sendiri itu bermasalah. “Sesungguhnya Allah itu paling tahu siapa orang yang paling mendapat petunjuk. Karena itu, setelah kita membaca taaruf jangan mengklaim yang paling benar,” katanya.
Perbaiki diri
Harus dipahami juga, kata Ustaz, bahwa puasa tidak sekadar menahan lapar dan haus. Puasa menahan diri dari yang sifatnya lahir maupun batin. “Sebab, tidak sedikit manusia menduga bahwa puasa itu sekadar menahan lapar dan haus,dan mereka memahami bahwa puasa adalah pengendalian hawa nafsu selama bulan Ramadan saja,” tuturnya.
Ia mengingatkan, puasa merupakan tempat pembinaan bagi setiap muslim untuk mengerjakan amalan yang dapat memperbaiki diri, meninggikan derajat takwa, menebar kebaikan, dan menjauhkan diri dari hal-hal yang merusak.
Puasa juga bisa menjadi moment paling tepat untuk membantu memerangi hawa nafsu, menekan syahwat, sekaligus sebagai sarana penyucian jiwa. Selain itu, menahan ucapan-ucapan mencela, tidak menyerang kehormatan orang lain, menyebar gibah (kejelekan atau aib orang lain), dan mengadu domba.
Di antara manfaat puasa yang baik lainnya, kata Imam, ialah sebagai sarana menyiapkan seseorang untuk melakukan perubahan pada dirinya sendiri untuk menjadi lebih baik, menahan diri dan dapat menyatakan ‘tidak’ kepada hawa nafsu dan syahwat.
“Semoga puasa ini membawa maslahat. Kita perlu saling mengenal dan mengedepankan kebaikan,” ujarnya. (H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved