Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Dari Al-Furqan ke Al-Qur'an

Prof Dr KH Nasaruddin Umar
29/5/2017 05:57
Dari Al-Furqan ke Al-Qur'an
(Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, Prof Dr KH Nasaruddin Umar. -- Grafis/Seno)

KATA al-furqan berasal dari akar kata farraqa-yafrriqu yang berarti membedakan, memisahkan, membagi-bagi, dan memperhadap-hadapkan. Dari akar kata ini lahir kata Al-Furqan, nama lain dari Al-Qur’an yang berarti memisahkan antara yang haq dan bathil, baik dan buruk.

Akan tetapi, dalam per­spektif tasawuf, khususnya dalam kajian Ibn ‘Arabi dalam kitab Fushush al-Hi­­kam, kata al-furqan sering digunakan sebagai lambang identi­tas bumi dan maqam ren­dah (al-maqam al-sufla). Disebut ‘manusia bumi’ (al-insan al-ardh) atau al-insan al-furqan karena paradigmanya masih memandang realitas alam ini sebagai makhluk dan entitas beraneka ragam.

Keanekaragaman realitas ini menyedot energinya untuk mengidentifikasi, mencari perbedaan dan persamaan antara satu realitas dan yang lain. Bahkan perbedaan itu memengaruhi karakter dan kepribadiannya. Ada yang disukai berlebihan dan ada yang dibenci secara berlebihan..

Mereka menikmati, tetapi sekaligus terbe­bani dengan pluralisme kehidupan dan he­­­terogenitas alam semesta. Namun, lebih ba­­­nyak energinya tersedot untuk melakukan penyesuai­an di anta­ra berbagai pluralitas yang ada.

Manusia bumi sulit me­ra­sakan kebahagiaan per­ma­nen karena paradig­manya lebih sering memperhadap-hadapkan identitas satu en­titas dengan yang lain. Akhirnya, ia tidak pernah puas karena sehari-hari me­ngejar bayang-bayang.

Sementara itu, al-qur’an, se­­cara harfiah dari akar ka­­ta qara`a-yaqrau yang berarti menghimpun atau mengumpulkan (al-jam’), membaca (al-nuthq). Dari akar kata itu lahirlah kata al-qur’an ber­­arti himpunan atau kumpulan (solidifications).

Dari akar kata yang sama lahir kata Al-Qur’an yang berarti kitab suci yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW melalui Jibril untuk dijadikan tuntunan hidup bagi umatnya. Disebut Al-Qur’an karena kitab itu berisi bacaan (qur’an) dan kandungannya menghimpun keseluruhan inti ajaran kitab-kitab suci sebelumnya.

ISTILAH al-qur’an di sini lebih dimaksudkan seperti apa yang dimaksudkan Ibn Arabi dan musyarrih kitabnya, Dawud al-Qushairi sebagai himpunan dari berbagai realitas dan entitas yang ada.

Al-qur’an sering dijadikan istilah untuk maqam lebih tinggi (al-maqam al-‘ulya) atau sering menjadi atribut bagi ‘manusia langit’ (al-insal al-samawi), yaitu orang-orang yang sudah memandang pluralitas kehidupan dan heterogenitas alam semesta sebagai wujud entitas Ilahi (al-jam’iyyah al-ilahiyyah/single divine-entity).

Manusia langit (al-insan al-samawi) yang biasa disebut manusia qur’ani (al-insan al-qur’ani) tidak lagi sibuk mencari identitas setiap entitas yang ada karena mereka sudah sampai kepada kesadaran bahwa pluralitas kehidupan dan heterogenitas entitas sesungguhnya adalah satu (the oneness).

Apa yang tampak sebagai the whole entity dalam alam semesta ini, baik makrokosmos maupun mikrokosmos ialah pengejawantahan (tajalli) diri-Nya Sang Maha Esa. Orang yang sampai kepada maqam ini disebut maqam al-qurb al-nawafil.

Ada orang yang sampai kepada puncak penyaksian bahwa sesungguhnya yang ada ini tidak ada siapa pun dan apa pun selain Dia Yang Maha Esa (ahadiyyah/the one and only). Maqam ini dalam istilah tasawuf disebut maqam al-qurb al-faraid.

Manusia qur’ani tidak lagi tersedot energinya untuk mengidentifikasi entitas-entitas yang ada karena mereka melihat apa yang ada sesungguhnya ialah hanya sebuah realitas. Tantangan kita sekarang bagaimana beranjak dari manusia bumi menjadi manusia langit. Apa karaker ‘manusia bumi’ dan ‘manusia langit’? lihat artikel berikutnya. Allahu a’lam.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya