Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

MK Harus Responsif dalam Memutus Perselisihan Pilkada

03/3/2017 08:42
MK Harus Responsif  dalam Memutus  Perselisihan Pilkada
()

MAHKAMAH Konstitusi (MK) diharapkan dapat responsif dan transparan dalam memutus perselisihan hasil pemilihan kepala daerah, sebab ada kecenderungan tim pemenangan pasangan calon melakukan pelanggaran guna menghasilkan selisih suara yang melampaui ambang batas pengajuan sengketa.

Peneliti Kode Inisiatif Adam Mulya mengatakan seharusnya syarat pengajuan perselisih­an yang dibatasi untuk setiap pemohon tidak menjadi tolok ukur bagi MK, khususnya ketika mengualifikasikan suatu perkara.

Ketentuan formal perselisih­an hasil pemilihan kepala dae­rah yakni ambang batas suara 0,5%-2% sesuai dengan jumlah penduduk dan durasi pengajuan selama tiga hari pascapenetap­an suara oleh KPUD. Hasil itu merujuk Pasal 158 ayat (1) dan (2) UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) serta Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Daerah Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

“Maka ini bisa menjadi polemik. Daerah yang terpaut sedikit atau jauh tidak dibahas substansinya lantaran ditolak MK di pemeriksaan pendahuluan,” ujar Adam di sela-sela diskusi Peran Mahkamah Konstitusi dalam Mewujudkan Keadilan Substansial: Pro-Kontra Ambang Suara Sengketa Pilkada, di Jakarta, kemarin.

Menurut Adam, meskipun pemohon sengketa tersebut dinyatakan tidak mampu memenuhi dua syarat formil, MK sebaiknya bisa mengambil sebuah kebijakan, seperti melakukan pemeriksaan terkait indikasi kecurangan pada perhelatan pesta demokrasi itu.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Fadli Ramadhanil menambahkan, sebagai evaluasi dari pelaksanaan sengketa hasil pilkada pada 2015, semestinya MK menjadikan sidang pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan sesuai dengan Pasal 26 Peraturan MK 1/2017.

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura mengatakan sidang pemeriksaan pendahuluan oleh MK diharapkan dapat memberikan ruang bagi pemohon untuk memperbaiki permohonan ketimbang hanya dijadikan arena menentukan permohonan itu apakah bisa dilanjutkan ke tahap pemeriksaan atau tidak.

“Nah, kita maunya saat pemeriksaan pendahuluan itu jika ada pemohon yang bisa memberikan bukti-bukti du­gaan pelanggaran yang masif, MK mestinya membuka ruang untuk diperiksa pokok perkaranya,” kata dia.

Diketahui, dari 48 permohon­an yang diajukan pemohon ke MK, hanya terdapat 7 daerah yang dinyatakan memenuhi ambang batas suara. Sisa permohonan lainnya diputuskan tidak memenuhi ambang batas yang ditentukan. (Gol/P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya