Headline

Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.

Fokus

Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.

Bukan Hukum yang Tumpul ke Atas

RIZKY NOOR ALAM
26/2/2017 10:17
Bukan Hukum yang Tumpul ke Atas
(MI/ADAM DWI)

DENGAN mengenakan kemeja putih dan celana hitam serta menyandang ransel, Asfinawati lebih mudah diterka sebagai mahasiswi ketimbang Ketua Pengurus Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Tidak hanya tampilannya yang ringan dan ringkas, keseharian perempuan berusia 40 tahun itu juga seperti itu. Untuk berpergian,Asfin--sapaan akrabnya--lebih suka menggunakan KRL.

Di sisi lain, tanggung jawab dan misi yang diembannya jelas tidak ringan. Asfin yang terpilih secara aklamasi pada 10 Januari harus meneruskan misi YLBHI motor
advokasi kaum tertindas, di tengah-tengah karut-marut lembaga peradilan dan rakyat yang kian apatis pada hukum.

Lalu bagaimana langkah perempuan lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini dalam menjawab tantangan-tantangan itu? Berikut petikan wawancara dengan
Media Indonesia, Rabu (8/2):

Anda baru terpilih secara aklamasi sebagai ketua YLBHI periode 2017-2022. Lalu prioritas ke depan lembaga ini akan seperti apa?
Ada persoalan internal dan eksternal yang sebenarnya saling terhubung. Yang internal, memfasilitasi 15 kantor LBH di seluruh Indonesia supaya lebih tajam advokasinya.

LBH itu harus dekat dengan rakyat. Advokasinya harus menyentuh persoalan mereka. LBH harus bisa melihat kebijakan nasional apa yang nantinya memengaruhi kasus-kasus yang diperjuangkan, misalnya, terkait dengan pendapatan petani, memengaruhi kondisi buruh, dan lainnya. Menurut kami, itu yang harus disasar.

Isu eksternalnya?
Kalau di isu eksternal, pertama mengenai sumber daya alam. Ada banyak sekali itu kasus pencaplokan tanah petani atau rakyat untuk berbagai pembangunan skala besar yang sebetulnya tidak terlalu dibutuhkan rakyat. Pembangunan itu seharusnya membuat rakyat sejahtera, tapi justru pembangunan itu mengambil penghidupan mereka, itu salah satu isu. Isu yang lain yaitu soal peradilan yang tidak bersih. Ada banyak sekali salah tangkap di berbagai kantor atau penyiksaan oleh aparat untuk memancing keterangan dan akhirnya mereka berbohong.

Kemudian isu intoleransi. Ketika dulu konfl iknya vertikal, sekarang horizontal. Orang mudah sekali mengatakan orang lain sesat, padahal kalau kita lihat sejarah, nyaris semua pemuka agama saat ini pernah dituduh sesat.

YLBHI juga ingin mendorong transisi demokrasi di Indonesia selesai. Transisi demokrasi ialah peralihan pemerintah suatu negara dari yang otoriter menjadi demokratis. Menurut saya ini belum selesai karena banyak syarat belum terpenuhi. Syarat pertama ialah para pelanggar HAM tidak lagi duduk di kursikursi penting pemerintahan, kedua korban-korban pelanggaran HAM mendapatkan pemulihan, korban yang diculik, dibunuh, dan lainnya.

Kalau kita lihat birokrasi itu belum berubah, jadi misalnya kalau ada pemimpin yang mencoba baik, baik di daerah maupun di tingkat nasional mereka bisa mendapatkan
penolakan dari birokrasi. Berarti kan birokrasinya masih yang lama, aktoraktor keamanan juga belum ada akuntabilitas, belum ada lembaga yang bisa mengawasi mereka.

Saat ini banyak kasus kriminalisasi orang, banyak yang saling lapor. Bagaimana Anda melihatnya?
LBH di 15 tempat itu adalah garda depan dalam membela orang yang dikriminalisasi. Makna kriminalisasi sendiri kan sekarang jadi perdebatan. Mereka yang melakukan
kriminalisasi mengatakan tidak ada kriminalisasi karena kriminalisasi itu membuat perbuatan yang tadinya tidak dihukum menjadi dihukum.

Tapi kalau kita melihat lebih luas, kriminalisasi sebenarnya adalah upaya menjalankan proses hukum yang bukan penegakan hukum. Misalnya kemarin pimpinan KPK, lalu ada juga petani yang dikriminalkan ketika dia sedang mempertahankan haknya, kemudian mahasiswa yang dikriminalkan karena mengkritik pemerintah. Kalau ini diteruskan, ini bukan hanya ciri-ciri negara yang otoriter, tapi lebih dari itu. Orang akan takut mengkritik sehingga pemerintah tidak akan mendapatkan masukan yang berharga. Sekaligus kita juga mengingatkan negara untuk menghentikan kriminalisasi.

Lalu apakah Anda setuju dengan pendapat banyak orang bahwa hukum kita ini tumpul ke atas, tapi runcing ke bawah?
Saya tidak heran banyak orang mengambil kesimpulan seperti itu, dan itu yang dirasakan. Kalau saya bahkan mengatakan lebih jauh lagi, pemerintah atau negara ini sering menunjukkan hukum atau peradilan itu tidak ada gunanya. Kenapa seperti itu? kita lihat saja ada kasus yang benar secara hukum, dia maju ke pengadilan dia menang tapi tidak bisa dilaksanakan putusannya. Lalu ada juga kondisi masyarakat yang melaporkan, misalnya, ada pelanggaran, penyiksaan oleh aparat, tapi laporannya tidak ditindaklanjuti. Kan masyarakat belajar jadinya, oh begini ya hukum.

Sebagai seorang pemimpin perempuan di sebuah lembaga. Bagaimana Anda melihat isu-isu perempuan?
LBH ini jargonnya bantuan hukum struktural, dan riset menunjukkan persoalan perempuan itu persoalan struktural. Jadi, kami akan memberikan perhatian yang besar terhadap isu-isu kelompok rentan, bukan hanya perempuan, melainkan ada juga isu anak. Isu orang-orang yang dianggap orientasi seksualnya berbeda, disabilitas. Jadi bukan karena jenis kelamin saja, melainkan, menurut saya itu harus menjadi kesadaran hukum dan politik bahwa mereka yang rentan terdiskriminasi harus diberi perhatian. Jadi, isu kelompok rentan ini harus diberi perhatian lebih bukan karena saya perempuan, melainkan lebih pada isu struktural, yang artinya ada hambatan di level hukum, perundang-undangannya, di level kultur aparatnya, bahkan di tingkat masyarakatnya dengan kulturnya masih mendiskriminasi kelompok rentan-rentan ini.

Bicara soal refleksi pribadi, apa kesuksesan terbesar maupun kegagalan terbesar Anda sampai saat ini?
Saya sebenarnya tidak pernah memikirkan saya sukses. Tapi mungkin kesuksesan terbesar saya adalah tidak melarikan diri dari pekerjaan-pekerjaan ini, dan saya pernah merasa bahwa gerakan bantuan hukum tidak pernah punya kekuatan, tidak berarti, tapi mungkin keberhasilan saya adalah menemukan kembali antitesisnya,
kemudian kembali dengan pemikiran strategi yang lain.

Kegagalan terbesar menurut saya adalah ketika saya melakukan kerja-kerja bantuan hukum dengan pemikiran melakukan perubahan struktural tetapi yang terjadi malah perubahan yang terjadi sangat sedikit.

Tidak sesuai dengan apa yang saya harapkan. Jadi bantuan struktural itu mengandaikan dengan menangani kasus hukum, kita bisa mengubah struktur hukum dll dan sering kali itu tidak terjadi, dan mungkin itu kegagalan terbesar saya.

Ada kata-kata inspiratif yang jadi prinsip Anda?
Saya lupa ini kata-kata siapa. Tapi ada yang mengatakan bahwa kita harus bersama dengan mereka yang tertindas, kalau kita mau tetap teguh di jalan ini. Karena mereka yang tertindas adalah sumber inspirasi dan kekuatan. Kalau kita diam sudah pasti tidak ada perubahan, tapi kalau kita terus bergerak, meskipun perubahannya tidak tahu seperti apa tapi itu lebih baik. Kita pun lihat di sejarah, banyak sekali perubahan besar ini karena dilakukan kerja-kerja kecil oleh orang yang sederhana.

Jadi saya berimajinasi bahwa saya seperti orang kebanyakan yang melakukan kerja-kerja sangat kecil tapi jangan-jangan di dunia ini sangat banyak orang-orang seperti saya, sehingga kerja-kerja kecil saya kalau digabungkan dengan mereka bisa membawa perubahan. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Ricky
Berita Lainnya