Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
PROSES hukum yang sesat masih kental di kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan. Hukuman mati pun mestinya tak dilakukan selama itu masih rentan terjadi. Istana diminta untuk mengevaluasi proses hukum terpidana yang potensial masuk daftar eksekusi mati gelombang III.
Koordinator Peneliti Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan, persoalan hukuman mati bukan saja melanggar hak hidup yang dijamin di UUD 45. Salah eksekusi pun berpeluang terjadi mengingat masih banyak praktek mafia peradilan, kriminalisasi, korupsi aparat, dan rekayasa kasus.
"Apabila seorang terpidana mati telah dieksekusi, maka tidak dimungkinkan untuk melakukan upaya koreksi atas kesalahan penghukuman," ujar dia, di kantor Imparsial, Jakarta, Minggu (24/7).
Salah satu kasus yang sangat kuat indikasi rekayasa kasusnya ialah kasus terpidana mati Zulfiqar Ali. Warga negara Pakistan ini dipidana hukuman mati karena dituding memiliki 300 gram heroin. Upaya Peninjauan Kembali (PK) sudah dilakukan dua kali. Yang terakhir ditolak karena tak memenuhi syarat prosesdural batasan PK yang cuma sekali.
Kuasa Hukum Zulfiqar, Saut Edward Rajagukguk, menjelaskan, proses hukum kliennya itu erat dengan rekayasa kasus di kepolisian. Awal mula prosesnya di Polres Bandara Soekarno-Hatta, 2004.
Indikasi rekayasa itu diantaranya penangkapan tanpa surat perintah, itupun dikirim beberapa hari kemudian, dimintai uang damai oleh penyidik, proses pemeriksaan yang tidak didampingi kuasa hukum dan penerjemah, penyiksaan di tahanan kepolisian, dan dicabutnya kesaksian yang memberatkan Zulfiqar.
Kesaksian itu berasal dari Gurdip Singh, pelaku awal yang ditangkap dengan bukti heroin 300 gr. Aparat mendapatkan Ali atas dasar pembelian tiket pesawat untuk Gurdip. Petugas kemudian menyiksa sekaligus mengiming-imingi keringanan hukuman jika Gurdip memberi kesaksian bahwa Ali terlibat. Padahal, bukti yang ditemukan dari Ali hanyalah tiga strip obat sakit kepala.
Gurdip yang tergoda kemudian memberi kesaksian memberatkan untuk Ali. Polisi pun menjadikan kesaksian itu sebagai pembenaran tudingan bahwa Ali mencampur heroin dengan Panadol.
Di tahap pengadilan, Gurdip kemudian mencabut BAP yang memuat kesaksian yang menuding Ali sebagai bagian jaringannya. Namun, hakim tak memedulikan itu dalam putusannya. Vonis hukuman mati diketok. Ini lebih berat dari tuntutan hukuman seumur hidup dari jaksa.
Direktur Eksekutif Imparsial Al Araf mengaku sudah bertemu dengan Ifdhal Kasim dari Deputi Hukum dan HAM Kantor Staf Kepresidenan tentang rencana eksekusi mati Pemerintah. Menurutnya, ada komitmen untuk mengkaji ulang kasus-kasus terpidana mati yang diduga kuat ada indikasi rekayasa kasus. Tim pengkaji pun dibentuk.
"Masih ada waktu KSP untuk mengkaji dan memberikannya kepada Presiden untuk kasus-kasus unfair trial (peradilan sesat). Jangan sampai kesalahan penghukuman. Ini menyangkut nyawa manusia. Kita desak KSP lakukan legal review," imbuh Al Araf.
Ia pun menyayangkan, dari pengamatannya, isu hukuman mati yang selalu naik ke permukaan ketika isu perombakan kabinet mencuat. Politisasi eksekusi mati lebih kuat ketimbang kepentingan penegakan hukumnya. Sejauh ini, tidak ada pula korelasi antara hukuman mati dengan penurunan kasus narkoba.
Imparsial pun mendesak Kejaksaan Agung transparan dan tegas dalam mengungkap jadwal dan daftar terpidana mati yang akan dieksekusi di Gelombang III ini. Sebab, itu adalah bagian proses hukum yang butuh kepastian. Terutama bagi pihak terkait dan keluarganya.
"Di revisi KUHP sudah ada semangat Pemerintah untuk menghilangkan hukuman mati, yakni dari pidana pokok ke pidana alternatif. Selama revisi ini masih dibahas, Pemerintah harusnya berkomitmen dengan semangat itu dan menunda eksekusi sampai KUHP baru disahkan," tambah Al Araf.
Saut menimpali, pihaknya menginginkan ada surat dari Presiden, dari hasil kajian KSP jika ada, kepada MA untuk membolehkan kelanjutan proses hukum Ali. Sejauh yang ia peroleh, surat dari Mensesneg Pratikno datang kepada pihaknya atas nama Presiden yang isinya memberi kesempatan PK untuk ketiga kalinya.
"Nanti saya sampaikan kepada Jaksa dan MA. Belum tahu kalau MA perbolehkan PK lagi atau tidak," tutupnya.
Zulfiqar Ali sempat dikabarkan masuk daftar terpidana mati yang bakal dieksekusi di gelombang III ini. Namun, Jaksa Agung sejauh ini belum memberi kepastian soal daftar dan waktu eksekusi itu. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved