SEBANYAK 60% pemilih pada gelaran Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 diproyeksikan berusia 17-39 tahun. Sudah saatnya pemilih muda yang mendominasi tersebut harus dapat dilihat oleh semua pemangku kepentingan, baik peserta dan penyelenggara pemilu, maupun pemerintah, sebagai subjek, bukan objek politik semata.
Mada Sukmajati, pengajar tata kelola pemilu pada Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, berpendapat, pemilih muda identik dengan perubahan dan harapan baru. Sebagai generasi yang lebih melek dengan perkembangan teknologi informasi, pemilih muda juga perlu melakukan tekanan terhadap partai politik terhadap agenda yang diharapkan.
"Karena potensi anak muda seperti itu, pasti akan digarap oleh peserta pemilu karena mereka, kan, butuh suara juga," kata Mada saat dihubungi dari Jakarta, Sabtu (18/2).
Mada mengatakan, partai politik tidak dapat lagi mengasumsikan pemilih muda sebagai objek yang, "Mudah digiring ke sana, ke sini." Baginya, ada pendekatan berbeda yang perlu diterapkan untuk meraih suara pemilih muda.
Baca juga: Pemilu 2024 Harus Dengarkan Suara Anak Muda
Peserta Pemilu 2024, lanjutnya, dapat memanfaatkan isu-isu yang selama ini tidak begitu diperhatikan politisi senior dalam rangka mendulang suara, misalnya visi menjadikan Indonesia untuk lebih berkontribusi di tingkat global.
Kendati demikian, Mada menggarisbawahi bahwa perubahan pada 2024 mendatang harus dimulai dengan pemilih muda itu sendiri. Pemilih muda, sambungnya, harus menempatkan posisi mereka sebagai subjek politik. Sehingga, inisiatif dan ketertarikan untuk terlibat dalam pesta demokrasi dapat muncul.
"Mumpung ini ada momentum lima tahunan yang menjadi momentum perubahan, saatnya anak-anak muda mendapat tempat," tandasnya.
Senada, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) August Mellaz juga mengatakan Pemilu 2024 ditandai dengan pergantian pemimpin setelah Joko Widodo menjadi presiden untuk dua periode. Di samping itu, dominasi pemilih muda harus dimaknai para aktor politik untuk menyesuaikan kampanye mereka.
"Mau tidak mau dalam program yang akan dikampanyekan, harus mendengarkan suara-suara anak muda," katanya dalam diskusi bertajuk Zillenial Dukung Pemilu Damai yang diselenggarakan Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) di Jakarta, Jumat (17/2).
Politisi muda yang menjadi anggota DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Dyah Roro Esti Widya Putri, mengatakan isu yang dapat dikapitalisasi untuk mengeruk suara pemilih muda antara lain lapangan kerja, pembangunan berkelanjutan, perubahan iklim, dan kesehatan mental.
"Isu itu harus dikemas sedemikian rupa sehingga gampang dicerna oleh publik," kata Esti.
Ia sendiri sadar sikap apatisme generasi muda terhadap institusi negara terejawantah pada rendahnya tingkat penerimaan masyarakat terhadap DPR. Oleh karena itu, Esti berupaya mengubah citra tersebut dengan mengubah persepsi masyarakat.
Salah satu yang dilakukan Esti adalah mendorong transparansi demi menjaga akuntabilitas publik, misalnya membagikan hasil pekerjaannya ke media sosial.
"Mudah-mudahan bagi yang apatis, turn your hate into love," tandasnya. (OL-17)