MENUNGGU itu membosankan. Mungkin itu ungkapan yang tepat untuk mewakili perasaan rakyat Indonesia atas penundaan pelantikan Kapolri. Komjen Budi Gunawan, yang sudah disetujui DPR sebagai Kapolri, sampai saat ini belum ada tanda akan dilantik Presiden. Semuanya menunggu. Menunggu sikap dan keputusan Jokowi.
Entah karena tak tahan menunggu atau hanya urusan mendapat berita, wartawan pun kerap menanyakan perihal pelantikan itu kepada Presiden. Jawabannya yang lantang terdengar ialah 'secepatnya'.
Kata 'secepatnya' menjadi senjata Pak Presiden kala meladeni pertanyaan wartawan. Entah terdesak atau tidak ada jawab lain, kata itu selalu menjadi jurus jitu. Kenapa begitu Pak Presiden?
Interpretasi kata 'secepatnya' merujuk banyak makna terdekat bagi pendengar. Kalau anak bertanya kepada ayahnya, "Kapan ayah pulang?" Lalu dijawab sang ayah 'secepatnya', tentu ukuran cepat mungkin satu-dua jam lagi. Tidak sehari, seminggu, atau sebulan.
Pemaknaan 'secepatnya' dalam pengetahuan bersama (common ground) tidak melebihi hitungan bulan. Dalam tafsiran lokal pendengar, 'secepatnya' dimaknai dalam hitungan hari. Misalnya saja, dalam hal pe-ngiriman paket pos, kilat cepat akan diterima dalam hitungan satu-dua hari. Beda dengan kilat biasa, barang diterima dalam jangka minggu atau bulan.
Pergeseran kata 'secepatnya' (yang nyatanya lama) menimbulkan interpretasi analogi. Bisa jadi pengulur-uluran waktu dalam memutus Kapolri, Presiden mendapat intervensi dari banyak pihak.
Bila becermin pada dasar pengalaman sejarah bangsa, intervensi itu juga dialami lembaga presiden. Bukankah sudah terlalu sering kita menunggu keputusan presiden di orde-orde setelah Presiden Soeharto?
Dalam prinsip wacana, kata 'secepatnya' dapat diurai dalam empat maksim: kuantitas, kualitas, relevansi, dan cara.
Secara kuantitas, jawaban Presiden itu tidak memberi kontribusi berita yang informatif. Kata 'secepatnya' merupakan jawaban klise, tanpa rujukan waktu yang tepat. Jawaban itu dilakukan sebagai keraguan semata dan keluar dari jawaban yang diminta, yakni lebih informatif. Sebaliknya, kata 'secepatnya' menjadi jawaban yang berlebihan karena tanpa tenggat yang jelas.
Berikutnya maksim kualitas. Dalam prinsip ini, jawaban yang diharapkan harus berkontribusi benar dan tidak meragukan. Hakikatnya, narasumber (dalam hal ini Presiden) memberikan jawaban yang diyakini benar dan jangan katakan jika Anda tidak memiliki dasar atau bukti yang cukup. Kata 'secepatnya' tentu tidak memiliki referensi yang ajek.
Mengenai hari, waktu, dan tempat masih dalam konteks ilokusi (bias). Untuk maksim relevansi (sering juga disebut prinsip relasi), kata 'secepatnya' tidak objektif dan tidak ilmiah. Kata itu lebih pada pernyataan menghindar atau menebak-nebak sehingga tidak relevan menjadi rujukan berita. Yang sebenarnya hendak disampaikan Presiden, 'Anda tinggal tunggu saja'. Dalam anekdot Gus Dur 'kok gitu aja repot'.
Dalam prinsip terakhir, yakni maksim cara, penyampaian kata 'secepatnya' yang berulang dalam setiap kesempatan terkesan bertele-tele, tidak runtut, melewa, dan mengandung ketaksaan bahasa. Namun, fragmen 'secepatnya' memenuhi prinsip jawaban singkat. Tidak berlewah lema.
Uraian di atas hanya sisi lain dalam memandang sikap Presiden. Ada yang dapat memaklumi, tetapi tidak sedikit yang tak sabar menanti. Sejatinya, jangan kelamaan mengatakan 'secepatnya' karena rakyat perlu referensi. Tentu pula tidak ingin menanti yang tidak pasti. Secepatnya kok lambat!