Headline
Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.
Pertambahan penduduk mestinya bukan beban, melainkan potensi yang mesti dioptimalkan.
Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan
ANGGOTA Komisi III DPR RI Arsul Sani menilai, kegiatan seminar nasional yang diselenggarakan Badan Keahlian DPR RI ialah upaya hadir untuk mengkritik Mahkamah Konstitusi.
Diketahui BK DPR RI melalui Pusat Pemantauan Pelaksanaan Undang-Undang menyelenggarakan Seminar Nasional dengan Tema Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Terhadap Tata Hukum Nasional.
“Seminar ini juga mengkritisi sikap-sikap MK yang bagi kami sebagai pembentuk undang undang itu patut dipertanyakan soal konstitusionalismenya” ungkap Arsul ketika ditemui tim Parlementaria di sela kegiatan seminar tersebut di Serpong, Tangerang Selatan, (29/3)
Ia menjelaskan bahwa dirinya melihat ada beberapa putusan MK itu yang bisa dipertanyakan, yakni apakah sikap itu sebetulnya persoalan konstitusionalitas norma yang ada di undang undang atau itu sebetulnya persoalan kepentingan hakim MK.
“Nah ini kan kemudian menimbulkan pertanyaan bagi pembentuk undang undang dpr maupun pemerintah. MK ini ya apakah membuat keputusan itu dari sisi kepentingan atau perspektif konstitusionalisme?” tanya politikus Fraksi PPP ini.
Lebih lanjut ia menjelaskan salah satu contohnya yakni terkait putusan MK yang membatalkan pasal peralihan dalam undang undang nomor 7 tahun 2020.
Baca juga: Anggota DPR Apresiasi Pemerintah Akomodir Kebebasan Pers di KUHP
Diketahui, undang undang tersebut merupakan perubahan atas undang undang Mahkamah Konstitusi, di mana di pasal 7 huruf a nya itu dibatalkan.
“Yang menyangkut kontinuitas atau kelangsungan jabatan ketua dan Wakil Ketua MK (dibatalkan), tetapi ketika yang menyangkut masa jabatan hakim MK secara keseluruhan itu kemudian tidak dibatalkan. Begitu ya tetap hidup. Meskipun itu juga dimintakan pengujian,” jelasnya.
Hal lainnya yang menjadi sorotan yakni persoalan uji formil.Terkait dengan apa yang oleh MK itu didefinisikan sebagai partisipasi yang bermakna mindful participation dari publik atau dari masyarakat. Pasalnya, ketika Undang undang nomor 7 tahun 2020 masuk dalam uji formil, undang undang tersebut dibuat dengan secepat kilat.
“Kenapa prinsip-prinsip meaningful participation yang ditekankan oleh MK dalam uji putusan, uji materi undang undang Cipta Kerja itu kok tidak diterapkan?” ungkap Arsul.
Ia menilai, yang harus kemudian diubah kembali direvisi kembali undang undang nya dengan harus memasukkan ketentuan bahwa kalau yang diuji materi itu adalah pasal pasal yang terkait. Terlebih, putusan MK berpotensi memiliki implikasi yang besar terhadap sistem ketatanegaraan.
Oleh karenanya, hakim MK itu betul betul hakim yang negarawan kalau itu menyangkut kepentingan dirinya sendiri, maka mestinya kalaupun mau mengadili dia harus mengambil keputusan yang betul-betul menyesuaikan kepentingan dirinya.
“Dengan diri para hakim MK maka ya harus ada majelis hakim MK yang bersifat ad hoc yang bukan para hakim mk yang permanen yang ada di MK itu,“ pungkas politisi dapil Jawa Tengah X. (RO/OL-09)
WAKIL Ketua DPR RI Adies Kadir menegaskan tidak ada rencana melakukan revisi UU Mahkamah Konstitusi (MK).
WAKIL Ketua Badan Legislasi DPR RI Ahmad Doli Kurnia mengkritik Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah melampaui kewenangan konstitusional karena menetapkan pemisahan pemilu nasional dan lokal
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pemilu nasional dengan lokal telah melampaui kewenangannya
Sejarah ketatanegaraan kita menunjukkan terjadinya inkonsistensi terhadap pelaksanaan pemilihan.
Menurutnya, penting bagi DPR dan Pemerintah untuk bisa menjelaskan seberapa partisipatif proses pembentukan UU TNI.
Ketua Badan Legislasi DPP PKS, Zainudin Paru, menegaskan, putusan tersebut berpotensi melanggar konstitusi dan melewati batas kewenangan MK.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved