Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Akademisi: Kelompok Radikal Sempitkan Doktrin Loyalitas terhadap Agama

Mediaindonesia.com
16/9/2022 13:17
Akademisi: Kelompok Radikal Sempitkan Doktrin Loyalitas terhadap Agama
Dosen Pascasarjana PTIQ Jakarta Muhammad Suaib Tahir(Ist)

SEKRETARIS Jenderal Pengurus Besar Darud Da'wah Wal Irsyad (PB DDI) KH Muhammad Suaib Tahir memandang miris terkait penyempitan makna yang dilakukan oleh kelompok radikal terkait ungkapan 'Al Wala' Wal Bara'.

"Nah kesalahan sebagian orang adalah karena makna ini diartikan secara terbatas. Kenapa? Karena sesungguhnya kita juga memang harus loyal kepada agama kita, tetapi dalam arti bukan berarti bahwa kita harus memusuhi yang lain," kata Kiai Suaib seperti dikutip Antara di Jakarta, Kamis (15/9).

Menurut dia, kelompok radikal masih begitu gencar membawa semacam doktrin 'Al Wala' Wal Bara' sebagai legitimasi pembenar ajaran (eksklusivisme), di mana umat Islam hanya boleh loyal atau bersaudara sesama umat Islam 'Al Wala' (loyalitas) sesama umat Islam dan terhadap yang nonmuslim harus bersikap 'Wal Bara' (melepas diri) atau bermusuhan.

Kiai Suaib menjelaskan sejatinya ungkapan tersebut memiliki makna yang mulia untuk tuntunan umat agar loyal memperjuangkan kebaikan bersama, terlepas dari perbedaan suku, ras, dan agama.

"Nah kesalahan sebagian orang adalah karena makna ini diartikan secara terbatas. Kenapa? Karena sesungguhnya kita juga memang harus loyal kepada agama kita, tetapi dalam arti bukan berarti bahwa kita harus memusuhi yang lain," ujarnya.

Dia melanjutkan, 'Al Wala' dan Wal Bara' sendiri berasal dari bahasa Arab. 'Al Wala' artinya loyalitas, sedangkan 'Wal Bara' memiliki makna melepaskan diri. Artinya, sebagai muslim harus loyal kepada umat Islam dan tidak boleh loyal kepada mereka yang bukan muslim.


Baca juga: Densus 88 Antiteror Tangkap Tersangka Teroris di Riau


"Istilah ini begitu populer ketika keruntuhan kekhilafan Islam atau pada pascapenyerangan Mongolia ke negara-negara Islam di Timur Tengah pada saat itu. Kemudian kemunculan penguasa baru pada saat itu, menimbulkan pertanyaan di masyarakat apakah mereka (penguasa) merepresentasikan Islam, dan apakah harus loyal kepada pemerintah," jelasnya.

Dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Ilmu Al Quran (PTIQ) Jakarta ini mengatakan bahwa justru dewasa ini ungkapan tersebut menjadi doktrin negatif yang mendominasi banyak kelompok radikal.

"Mereka memandang 'Al Wala' Wal Bara' itu hanya semata-mata untuk orangnya saja, untuk orang muslim saja. Kalau yang bukan muslim itu tidak bisa loyal bahkan mengganggu dan mengancam orang lain karena menganggap Itu bukan bagian dari mereka, itu adalah suatu kekeliruan tentang memaknai 'Al Wala' Wal Bara'," tutur Kiai Suaib.

Padahal, di dalam ajaran Islam sendiri, tidak ada batasan dalam pergaulan karena sejatinya manusia memiliki hubungan hak dan kewajiban dengan manusia lainnya, terlebih dalam hal yang bersifat kepentingan umum.

Ia juga menjawab terkait kontradiksi antara makna ungkapan 'Al Wala' Wal Bara' dengan konsep Islam yang rahmatan lil alamin, yang mana Islam dan umat muslim sejatinya memberikan kemanfaatan bagi orang lain dan alam semesta.

"Kalau dimaknai secara keliru tentunya itu bertentangan. Jadi kalau ada orang mengatakan saya hanya bisa baik terhadap sesama orang muslim, itu pasti bertentangan dengan konsep 'rahmatan lil alamin'. Tetapi kalau dia memaknai loyalitas itu adalah untuk kebaikan dan kemanfaatan ya itu tidak masalah," jelas Kiai Suaib. (Ant/OL-16)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik