Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PERBAIKAN terhadap Undang-Undang No.11/2020 tentang Cipta Kerja diharapkan tidak hanya bersifat formalitas. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) didesak untuk juga memeriksa muatan materi dalam UU tersebut meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) hanya menunda keberlakuan UU Cipta Kerja karena cacat formil. Demikian mengemuka dalam diskusi webinar bertajuk "Menilik Inkonstitusional Bersyarat UU Cipta Kerja" yang digelar Rabu (8/12).
Baca juga: PPP Setujui Draf RUU TPKS asalkan Tidak Legalkan Seks Bebas dan LGBT
"MK secara tidak langsung memberi pesan untuk pembuat undang-undang agar memeriksa kembali aspek materi dalam pembentukan UU Cipta Kerja, karena ada pengujian materil juga yang dimohonkan. Walaupun secara objek UU tersebut sedang ditunda pemberlakuannya," papar Pengajar Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura yang merupakan narasumber dalam diskusi itu.
MK dalam putusannya Nomor 91/PUU-XVIII/2021 memerintahkan pembuat UU memperbaiki UU Cipta Kerja dalam waktu dua tahun. Selain itu, dalam pertimbangan hukumnya Mahkamah menegaskan bahwa pembentukan suatu undang-undang harus sesuai prosedur, metode yang baku dan standar yang telau ditentukan. Karena itu, dalam memperbaiki UU Cipta Kerja, pembuat undang-undang merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan untuk menjelaskan metode Omnibus Law yang belum diatur dalam UU itu.
"Tidak cukup hanya merevisi UU No.12/2011 sebab kesalahan format pembentukan hanya satu bagian dari banyak cacat formil dalam UU Cipta Kerja. Ada kesalahan lain seperti harus ada kejelasan tujuan, rumusan, asas kedayagunaan, dan keterbukaan," paparnya.
Pelaksana Tugas Ketua Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Violla Reininda menambahkan revisi terhadap UU No.11/2012 sebaiknya lebih dulu diselesaikan. Kemudian, proses perbaikian UU Cipta Kerja baru dimulai lagi dari tahapan awal. Pasalnya pembuat UU perlu memformulasikan metode Omnibus Law yang akan diatur dalam UU No.11/2012. Metode itu, imbuhnya, didasarkan pada kajian ilmiah yang komprehensif.
MK pada amar putusannya meminta pemerintah tidak mengambil tindakan strategis berkaitan dengan penerapan UU Cipta Kerja setelah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Violla menuturkan pemerintah pusat perlu mengkomunikasikan dengan pemerintah daerah yang mana telah membuat peraturan daerah sebagai pelaksana UU Cipta Kerja.
"Jadi tidak hanya pemerintah pusat, tapi seluruh perangkat di daerah menaati putusan ini. Putusan MK mengikat seluruh praktik ketatanegaraan," ucap dia.
Salah satu anggota dari tim kuasa hukum para pemohon yang mengajukan uji formil UU Cipta Kerja,
Muhamad Saleh mengatakan masyarakat perlu mengawal revisi UU 12/2011 yang merupakan acuan pembentukan peraturan perundang-undangan. UU itu direvisi karena UU Cipta Kerja menggunakan metode Omnibus Law yang belum diatur.
"Sehingga tidak ada pasal-pasal yang disusupi dalam UU 11/2012.,"tegasnya.
Lalu, apabila ada kebijakan strategis yang masih dilakukan maka pemerintah, seperti peraturan menteri atau peraturan daerah, Saleh mengatakan pihak yang merasa dirugikan bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). (OL-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved