Headline
Putusan MK dapat memicu deadlock constitutional.
KINERJA anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI periode saat ini dianggap belum sesuai dengan pendapatan yang diterima. Apabila diukur dari undang-undang yang dihasilkan selama dua tahun periode 2019-2021 hanya 4 rancangan undang-undang yang berhasil disahkan.
Selain mendapatkan gaji dan tunjangan, anggota dewan juga mendapatkan dana reses untuk menyerap aspirasi di daerah pemilihan. Penggunaan dana itu dianggap belum transparan.
Peneliti Forum Masyarakat Perduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus mengatakan anggaran untuk reses ditransfer ke rekening anggota DPR, yang kemudian hasil pertanggungjawabannya hanya berupa laporan kegiatan di daerah pemilihan (dapil).
"Pertanggungjawaban keuangan menjadi tidak penting tapi hanya laporan (kegiatan)," ujar Lucius dalam diskusi daring bertajuk "Gaji dan Kinerja Wakil Rakyat yang Terhormat", Sabtu (18/9).
Pertanggungjawaban yang tidak detil mengenai pengeluaran dana, ujar Lucius, yang membuat sulit untuk mengukur penggunaan dana reses benar dilakukan oleh anggota DPR untuk menyerap aspirasi masyarakat. Hal itu pula, imbuhnya yang membuka celah penyalahgunaan dana reses. Sementara itu, besaran dana reses diyakini naik.
Baca juga: PDIP Tolak Masa Jabatan Presiden 3 Periode
Politikus Partai Hanura yang juga mantan anggota DPR RI Periode 2009-2014 Erik Satrya Wadhana menuturkan dana reses untuk anggota dewan periode saat ini jumlahnya dua kali lipat jika dibanding periode ketika ia menjabat.
Ia mengungkapkan reses pada periode lalu hanya tiga kali dengan anggaran sekitar Rp 50 juta. Efektivitasnya pun, terang Erik, amat tergantung pada masing-masing anggota dewan.
"Daerah Pemilihan (Dapil) saya Cianjur dan Kota Bogor (dapil Jawa Barat III). Dari sembilan anggota dewan yang ada di Jawa Barat III, hanya tiga orang yang rutin melakukan reses," ujar dia.
Erik menuturkan dana reses menjadi tinggi karena sistem politik di Indonesia mahal. Ketika reses, ungkapnya anggota dewan perlu menyediakan uang transportasi untuk masyarakat agar mau hadir.
Sistem politik yang membuat masyarakat permisif terhadap pemberian uang tersebut, menurutnya perlu dikoreksi. Selain tidak ada kontrol terhadap dana reses, imbuh Erik, fraksi sebagai pengawas kadernya di DPR juga tidak tegas terhadap anggota yang sering tidak hadir dalam rapat.
"Di DPR terbuka kemungkinan tidak hadir tapi digaji terus padahal fraksi yang seharusnya mengawasi," tukasnya.
Anggota Komisi XI dari Fraksi PDI Perjuangan Masinton Pasaribu mengatakan legislator di DPR RI mendapatkan gaji dan tunjangan antara lain tunjangan keluarga, tunjangan kehormatan, dan lain-lain setiap bulan sebesar kurang lebih Rp 60 juta. Besarannya, ujar dia, telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75/2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara Dan Anggota Lembaga.
Untuk dana reses, Masinton menyampaikan uang itu tidak masuk sebagai penghasilan. Sekretariat DPR menganggarkan lima kali reses dalam satu tahun masa persidangan. Setiap kegiatan di dapil, imbuhnya, mendapat alokasi dana sebesar Rp 20 juta. Maksimal, terang Masinton, ada delapan kegiatan dalam satu kali masa reses. Sehingga dana yang didapat diperkirakan mencapai Rp 400 juta.
"Kalau tabrakan (jadwalnya) maka tidak bisa diagendakan (reses) . Jadi ada lima masa reses dan kunjungan kerja ke dapil belum bisa tidak terserap total (8 kegiatan)," tutur Masinton.
Mengenai fungsi legislasi DPR yang dianggap minim menghasilkan UU, Masinton beralasan kinerja tidak harus diukur dari jumlah rancangan UU yang berhasil disahkan. Melainkan, kualitas dari UU tersebut. Ia menyebut program legislasi nasional (prolegnas) yang disusun hanya panduan dalam menyelesaikan target rancangan UU.
"Prolegnas adalah panduan untuk menyelesaikan UU. Apakah harus diselesaikan semua? (Legislasi) kan berdasarkan kebutuhan. Yang kita ukur bukan kuantitas tapi kualitas," kilahnya.
Persoalan gaji anggota dewan menjadi sorotan setelah anggota DPR RI Krisdayanti membeberkan gaji dan penghasilan anggota DPR sebesar ratusan juta rupiah, beberapa waktu lalu.
Akademisi di bidang Komunikasi Politik di Universitas Nasional Lely Arrianie mengatakan anggota DPR RI sejak awal reformasi hingga periode saat ini tidak jauh berubah. Ia melakukan penelitian pada 2003, dan menemukan persoalan gaji selalu timpang dengan kinerja.
"Waktu itu masih 500 anggota DPR sejak itu yang dibicarakan bukan kinerja tapi gaji agar dinaikkan 300%. Fenomenanya belum berubah. Masih ada bolos, tidur dan nonton video ditemukan pada anggota dewan setelah reformasi," ungkap Lely.
Idealnya, cetus Lely, antara kinerja dan gaji harusnya paralel. Namun, dari hasil kajian masyarakat sipil antara lain Formappi, UU yang dihasilkan DPR periode ini masih minim. Hanya 4 RUU yang berhasil dibahas dan itupun diantaranya menuai pro-kontra.
"Jadi duit yang dibilang ratusan juta (dana reses) itu menyakiti hati rakyat," tukasnya.(OL-4)
Kenaikan gaji akan dianggarkan pada 1 Maret 2025 dan diterima pada awal bulan April 2025 dari gaji pokok Rp3 juta menjadi Rp4 juta
Industri dengan fluktuasi laba dan rugi yang lebih besar, seperti pertambangan dan jasa pertambangan, cenderung menawarkan proporsi bonus lebih tinggi dibandingkan sektor lainnya.
Juru bicara Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) Fauzan Arrasyid mengatakan para hakim meminta kenaikan gaji sebanyak 142%.
Gerakan Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) menegaskan bahwa usulan tersebut sangat jauh dari harapan dan tuntutan yang disampaikan oleh para hakim.
Para demonstran juga berbaris melawan pemerintahan baru dan kelompok sayap kanan.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menyampaikan Rancangan Undang-Undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025. ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved