Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
SIKAP kehati-hatian dan kecermatan yang tinggi harus menjadi pijakan dalam melakukan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Selain itu, yang juga menjadi syarat pokok yakni keterlibatan publik secara luas.
Hal tersebut dikatakan oleh pakar hukum tata negara Universitas Kristen Satya Wacana Umbu Rauta. “Ketiga poin tersebut harus diutamakan," ujarnya saat dihubungi, Senin (23/8).
Satya mengatakan gagasan amendemen bukan baru kali ini muncul, melainkan sudah mulai diwacakan pada MPR periode sebelumnya. Ia menekankan norma-norma atau materi muatan konstitusi yang dirumuskan dalam tataran konstitusi harus berdaya laku jauh ke depan. Norma tersebut juga harus jadi kesepakatan publik dan tidak boleh bersifat elitis.
“Keberlakuannya harus cukup jauh ke depan, jangan hanya setahun, dua tahun karena cost-nya tinggi untuk mengubah dan norma harus jadi kesepakatan publik tidak boleh buat norma yang bersifat elitis,” cetusnya.
Rencana amendemen UUD 1945 sempat dituangkan dalam Keputusan MPR Nomor 8 Tahun 2019 yang mengamanatkan MPR periode saat ini untuk melakukan telaah mendalam mengenainya melalui Badan Pengkajian MPR. Satya mengatakan saat ini semestinya masih dalam proses menindaklanjuti amanat pengkajian, belum sampai pada proses amendemen.
Keinginan untuk mengamendemen UUD 1945 baru muncul dari sebagian fraksi di MPR, khususnya Partai Golkar dan PDI Perjuangan. Objek amendemennya bersifat terbatas yag menurut Satya memiliki implikasi pada Pasal 3 dan Pasal 23 UUD 1945.
Pasal 3 mengatur kewenangan MPR dan dengan amendemen terbatas kewenangan itu akan ditambah dengan menetapkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Adaan Pasal 23 UUD 1945 mengatur hak keuangan negara, termasuk hak DPR untuk menyetujui atau pun menolak rancangan APBN yang diajukan pemerintah.
Di sisi lain, kata Satya, publik secara luas harus mengawal dan mengetahui proses amandemen tersebut. Hal ini dapat disampaikan atau disosialisasikan oleh para anggota dewan, DPR, DPD, dan MPR di daerah pemilihan mereka.
“Jangan terburu-buru. Publik harus menginformasikan hakikat apa yang mau diubah. MPR bisa melakukan secara kelembagaan dan juga anggota MPR, DPR, DPD saat turun ke dapilnya masing-masing bisa menyampaikan in. Partai politik juga bisa. Tapi sebelumnya memang sudah ada uji publik ke kampus-kampus dan daerah,” papar Satya.
Anggota Komite I DPD RI Abdul Rachman Thaha mengemukakan hampir seluruh fraksi di DPR seiya sekata, namun masih malu menyampaikannya secara terbuka terkait amendemen terbatas UUD 1945 tersebut. Ia memperkirakan arah amendemen juga termasuk perpanjangan masa jabatan presiden dan memundurkan jadwal pemilu serentak berikutnya. “Saya menentang rencana-rencana tersebut. Saya yakini lembaga DPD pun demikian,” ungkapnya.
Menurutnya, DPR perlu diingatkan untuk patuh pada pasal 37 UUD ayat 1 bahwa pengajuan usul pasal-pasal baru dapat diagendakan apabila diajukan oleh 1/3 anggota MPR RI. Artinya, harus ada 230 anggota MPR yang memberikan tanda tangan. Dan untuk mengubah pasal-pasal, sidang harus dihadiri 2/3 dari jumlah anggota MPR atau 460 anggota.
“Jumlah anggota DPD adalah 136 orang. Dengan angka-angka tersebut, suara anggota DPD ditambah suara dari anggota beberapa fraksi akan bisa menjegal rencana kubu yang begitu bernafsu mengubah UUD demi bertahan di kursi kekuasaan,” cetus Abdul.
Abdul menyatakan DPR juga harus memperhatikan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Putusan 92/PUU-X/2012 dan dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2013. Dalam putusan tersebut MK meneguhkan lima hal, di antaranya DPD terlibat dalam pembuatan program legislasi nasional (Prolegnas).
Kemudian, DPD berhak mengajukan RUU yang dimaksud dalam Pasal 22D ayat (1) UUD 1945 sebagaimana DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
“Seluruh anggota DPR tentu juga tahu tentang ketentuan-ketentuan tersebut. Tinggal lagi masyarakat yang perlu dibangun pemahamannya agar mereka tidak terkecoh. Juga, karena pemahaman publik itulah yang akan menjadi kekuatan terbesar guna menyetop rencana fraksi-fraksi menggagahi kehidupan bernegara lewat perubahan sekehendak hati atas UUD,” paparnya.
DPD, sambung Abdul, telah kecolongan atas rencana tersebut. Saat ini anggota DPD lebih berkonsentrasi memantau realisasi pemenuhan hak-hak masyarakat daerah terkait covid-19.
“Ternyata lembaga lain justru mengonsolidasikan langkah-langkah untuk membawa mundur kehidupan bernegara ke masa silam yakni dengan rencana memanjangkan periode jabatan presiden dan mengalihkan jadwal pemilu ke 2027,” tukasnya. (P-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved