Parpol Tertinggal dalam Wujudkan Pendidikan Politik

Sri Utami
19/3/2021 19:30
Parpol Tertinggal dalam Wujudkan Pendidikan Politik
Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto dalam diskusi daring bertajuk Rapuhnya Bangunan Kelembagaan Partai Politik, Jumat (19/3).(YOUTUBE FORMAPPI)

PARTAI politik (parpol) memiliki posisi penting dalam proses negara demokrasi. Tidak bisa dibayangkan jika negara berdemokrasi tidak memiliki partai politik yang masih menjadi saluran utama kepentingan dan rekrutmen pengisian jabatan publik. 

Parpol juga menjadi pelaku sekaligus medium politik bernegara. Hal ini dikatakan analis politik Exposit Strategic Arif Susanto dalam diskusi daring bertajuk Rapuhnya Bangunan Kelembagaan Partai Politik, Jumat (19/3).

“Tidak mungkin membayangkan ada demokrasi tanpa partai politik. Parpol masih menjadi saluran kepentingan dan rekrutmen bagi pengisian jabatan publik parpol juga menjadi pelaku sekaligus medium pendidikan politik,” ucap Arif.

Dalam prosesnya parpol memiliki fungsi penting dalam proses demokrasi. Namun sejak 1999, di antara fungsi dan perannya, parpol di Indonesia masih sangat tertinggal dalam mewujudkan pendidikan politik. Di sisi lain sulit mengharapkan publik memilih dan menjadi cerdas serta punya pilihan yang bisa dipertanggungjawabkan tanpa pendidikan politik yang merupakan peran penting parpol.

“Yang paling tertinggal adalah dalam konteks dalam pendidikan politik. Dan kita perlu untuk memberikan kritik juga kepada pemilih yang belum cukup cukup cerdas dalam menentukan pilihan,” papar Arif.

Arif merinci sejumlah karakteristik parpol yang kemudian teridentifikasi masalah yang muncul dari sistem kelembagaan parpol yang ada. Contohnya, partai yang dibentuk masih melalui mekanime top down dengan kecenderungan pemusatan kekuasaan di tangan elite.

“Figur pemimpin partai cenderung lebih besar dibandingkan pranata politik organisasi, personalisasi politik juga menjadi efek lain lemahnya kelembagaan,” ucapnya.

Permasalahan lain terkait dengan identitas partai yang tidak terlalu terang perbedaannya. Hal tersebut menyebabkan sulit untuk membangun kohesi ideologis partai. Perpotongan identitas dengan partai lain juga menghasilkan relasi yang cair antarpartai.

“Disiplin partai cenderung rendah, anggota partai dapat membawa kepentingan berlawanan. Faksionalisasi kuat, kohesi dipertahankan lewat dua cara, pemusatan kekuasaan dan klientelisme,” tutur Arif.

Lebih lanjut dikatakan Arif, melemahnya identitas partai biasanya diikuti oleh personalisasi politik. Kondisi ini memiliki penyebab yang kompleks termasuk peran media massa. Personalisasi politik dilakukan dengan pengenalan ketua partai politik yang akan lebih kuat dan mudah khususnya di tempat publik pemilih yang belum memiliki edukasi politik yang baik.

“Misalnya di tempat publik pemilih masih tertinggal. Bagi partai jauh lebih mudah untk menyorongkan figur tertentu dari pada memaparkan visi misi, program partai, dan lain-lain. Hal lain yang memperkuat personilisasi politik ini di Indonesia. Harus diakui ini terjadi di pemilihan langsung presiden dan kepala daerah,” ungkapnya.

Menurut Arif hampir semua partai mengambil posisi tengah dengan identitas yang tidak terlalu terang perbedaannya. Publik kemudian kesulitan untuk membuat pemilahan yang tegas terhadap identitas partai. Dalam sejarahnya pembentukan parpol di Indonesia dimediasi dengan kehadiran organisasi masyarakat atau organisasi lain yang serupa, termasuk organisasi agama yang mempunyai punya keterkaitan yang lebih kuat dengan massa di level yang paling bawah.

“Keterkaitan yang lebih kuat dengan massa di level yang paling bawah. Ini sempat dipotong akarnya pada masa Orba akibatnya sejak 99 sampai sekarang nyaris tidak ada parpol yang tidak membutuhkan broker politik itu dimainkan oleh organisasi massa. Dan ini menjadi penegas kenapa pemilu kita berbiaya mahal ,” cetus Arif.

Dengan kondisi kelembagaan partai yang cenderung rapuh, sudah saatnya partai memperkuat kelembagaan sebagai bagian dari moderenisasi partai dan membangun intra party democracy. Tidak hanya itu partai juga harus memperkuat aspek kompetitif dan membangun otonomi relatif terhadap kekuatan lain politik termasuk pemerintah.

“Memutus peran political brokerage dan mengembangkan logika representasi untuk menggantikan logika patronase,” pungkas Arif. (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya