Headline
Istana minta Polri jaga situasi kondusif.
PARTAI politik (parpol) memiliki posisi penting dalam proses negara demokrasi. Tidak bisa dibayangkan jika negara berdemokrasi tidak memiliki partai politik yang masih menjadi saluran utama kepentingan dan rekrutmen pengisian jabatan publik.
Parpol juga menjadi pelaku sekaligus medium politik bernegara. Hal ini dikatakan analis politik Exposit Strategic Arif Susanto dalam diskusi daring bertajuk Rapuhnya Bangunan Kelembagaan Partai Politik, Jumat (19/3).
“Tidak mungkin membayangkan ada demokrasi tanpa partai politik. Parpol masih menjadi saluran kepentingan dan rekrutmen bagi pengisian jabatan publik parpol juga menjadi pelaku sekaligus medium pendidikan politik,” ucap Arif.
Dalam prosesnya parpol memiliki fungsi penting dalam proses demokrasi. Namun sejak 1999, di antara fungsi dan perannya, parpol di Indonesia masih sangat tertinggal dalam mewujudkan pendidikan politik. Di sisi lain sulit mengharapkan publik memilih dan menjadi cerdas serta punya pilihan yang bisa dipertanggungjawabkan tanpa pendidikan politik yang merupakan peran penting parpol.
“Yang paling tertinggal adalah dalam konteks dalam pendidikan politik. Dan kita perlu untuk memberikan kritik juga kepada pemilih yang belum cukup cukup cerdas dalam menentukan pilihan,” papar Arif.
Arif merinci sejumlah karakteristik parpol yang kemudian teridentifikasi masalah yang muncul dari sistem kelembagaan parpol yang ada. Contohnya, partai yang dibentuk masih melalui mekanime top down dengan kecenderungan pemusatan kekuasaan di tangan elite.
“Figur pemimpin partai cenderung lebih besar dibandingkan pranata politik organisasi, personalisasi politik juga menjadi efek lain lemahnya kelembagaan,” ucapnya.
Permasalahan lain terkait dengan identitas partai yang tidak terlalu terang perbedaannya. Hal tersebut menyebabkan sulit untuk membangun kohesi ideologis partai. Perpotongan identitas dengan partai lain juga menghasilkan relasi yang cair antarpartai.
“Disiplin partai cenderung rendah, anggota partai dapat membawa kepentingan berlawanan. Faksionalisasi kuat, kohesi dipertahankan lewat dua cara, pemusatan kekuasaan dan klientelisme,” tutur Arif.
Lebih lanjut dikatakan Arif, melemahnya identitas partai biasanya diikuti oleh personalisasi politik. Kondisi ini memiliki penyebab yang kompleks termasuk peran media massa. Personalisasi politik dilakukan dengan pengenalan ketua partai politik yang akan lebih kuat dan mudah khususnya di tempat publik pemilih yang belum memiliki edukasi politik yang baik.
“Misalnya di tempat publik pemilih masih tertinggal. Bagi partai jauh lebih mudah untk menyorongkan figur tertentu dari pada memaparkan visi misi, program partai, dan lain-lain. Hal lain yang memperkuat personilisasi politik ini di Indonesia. Harus diakui ini terjadi di pemilihan langsung presiden dan kepala daerah,” ungkapnya.
Menurut Arif hampir semua partai mengambil posisi tengah dengan identitas yang tidak terlalu terang perbedaannya. Publik kemudian kesulitan untuk membuat pemilahan yang tegas terhadap identitas partai. Dalam sejarahnya pembentukan parpol di Indonesia dimediasi dengan kehadiran organisasi masyarakat atau organisasi lain yang serupa, termasuk organisasi agama yang mempunyai punya keterkaitan yang lebih kuat dengan massa di level yang paling bawah.
“Keterkaitan yang lebih kuat dengan massa di level yang paling bawah. Ini sempat dipotong akarnya pada masa Orba akibatnya sejak 99 sampai sekarang nyaris tidak ada parpol yang tidak membutuhkan broker politik itu dimainkan oleh organisasi massa. Dan ini menjadi penegas kenapa pemilu kita berbiaya mahal ,” cetus Arif.
Dengan kondisi kelembagaan partai yang cenderung rapuh, sudah saatnya partai memperkuat kelembagaan sebagai bagian dari moderenisasi partai dan membangun intra party democracy. Tidak hanya itu partai juga harus memperkuat aspek kompetitif dan membangun otonomi relatif terhadap kekuatan lain politik termasuk pemerintah.
“Memutus peran political brokerage dan mengembangkan logika representasi untuk menggantikan logika patronase,” pungkas Arif. (P-2)
Pejabat publik idealnya memaknai demokrasi dengan dialog dinamis, bukan hanya respons pasif pada tekanan massa.
Tulisan ini menelusuri dinamika politik Indonesia melalui lensa tiga filsuf Islam: Al-Farabi, Ibn Khaldun, dan Ali Shariati.
MENGINJAK usia 80 tahun Indonesia merdeka dan berdemokrasi, Laboratorium Indonesia 2045 menilai hubungan partai politik dan konstituen semakin memburuk.
Partai politik di Indonesia saat ini juga mengalami permasalah yang sama yakni konstituen lebih terikat pada tokoh daripada pada program atau ideologi partai.
PAKAR Hukum Tata Negara mempertanyakan urgensi pembentukan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, di tingkat global, tidak ada praktik serupa.
Gunjingan banyak orang bahwa NasDem adalah partai pragmatis, lagi medioker, sebenarnya dilandasi dua alasan mendasar.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved