Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
DALAM menyikapi dinamika pembahasan revisi Undang-Undang 7 tahun 2017 tentang Pemillu, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mengusulkan penurunan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT). Politikus sekaligus anggota Komisi II DPR Mardani Ali Sera menuturkan, ambang batas pencalonan presiden perlu diturunkan hingga menjadi 10%.
"PKS berharap PT tidak 20% melainkan 10%," ungkapnya saat dihubungi di Jakarta, Jumat (22/1).
Mardani menuturkan, penurunan PT dibutuhkan agar terciptanya kontestasi pencalonan presiden yang lebih baik. Angka PT yang terlalu tinggi menyulitkan partai politik (parpol) untuk mencalonkan lebih dari 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berkontestasi dalam pemilu presiden (pilpres).
"Agar ada kontestasi karya dan gagasan sehingga bisa menghadirkan lagi banyak calon presiden lebih dari 2 pasangan calon," ungkapnya.
Menurut Mardani, hanya tersedianya 2 pasangan calon presiden dan wakil presiden cenderung menimbulkan perpecahan di komunitas dan masyrakat. Hal tersebut berkaca pada Pilpres 2019 lalu.
"Kalau 2 pasang calon kecenderungannya membelah kepada komunitas dan masyarakat. Seperti Pilpres 2019 lalu," tuturnya.
Hal sebaliknya untuk ambang batas parlemen. Mardani menuturkan PKS mengusulkan agar angkanya dinaikkan sebesar 1 poin menjadi 5%, yakni dari yang sebelumnya 4%. Menurut dia, itu dibutuhkan untuk menyehatkan kekuatan di parlemen. "Soal ambang batas parlemen kami usul untuk naik 1%," pungkasnya.
Badan Legislasi (Baleg) DPR RI masih terus melakukan harmonisasi draf atau naskah revisi UU Pemilu. Untuk sementara, ambang batas capres adalah paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional partai politik atau gabungan partai politik pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Wakil Ketua Baleg Willy Aditya mengatakan ketentuan tersebut belum bisa dipastikan lantaran Baleg masih melakukan harmonisasi naskah revisi UU Pemilu. "Baru harmonisasi," tandasnya. (P-2)
PARTAI politik di DPR begitu reaktif dalam merespons Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 135/PUU-XXII/2025.
WAKIL Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto mengatakan penggunaan teknologi perhitungan suara atau rekapitulasi suara secara elektronik (e-rekap) menjadi hal krusial.
Sejarah ketatanegaraan kita menunjukkan terjadinya inkonsistensi terhadap pelaksanaan pemilihan.
Komisi II DPR siap membahas RUU Pemilu tersebut jika diberi kepercayaan oleh pimpinan DPR. Ia mengatakan Komisi II DPR yang membidangi kepemiluan tentu berkaitan membahas RUU Pemilu.
MELALUI Putusan No 135/PUU-XXII/2024, MK akhirnya memutuskan desain keserentakan pemilu dengan memisahkan pemilu nasional dan pemilu daerah.
WAKIL Ketua Komisi II DPR RIĀ Aria Bima, menilai Aria menilai putusan MK membuka urgensi untuk membahas Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) yang baru secara lebih menyeluruh.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved