Headline
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
Program Makan Bergizi Gratis mengambil hampir separuh anggaran pendidikan.
TNI menunggu lampu hijau dari Angkatan Bersenjata Filipina untuk membebaskan seluruh WNI anak buah kapal tongkang Brahma 12 dan tongkang Anand 12 yang disandera kelompok militan Abu Sayyaf.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan informasi keberadaan 10 WNI itu diperoleh dari Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina Jenderal Hernando Delfin CA Irriberi.
“Mereka sudah tahu dan setiap saat koordinasi. Saya menyampaikan apa pun yang diperlukan, kami siap. Siap bagaimana? Itu urusan saya,” ujar Gatot kepada wartawan di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur, kemarin.
Menurutnya, prioritas utama dalam koordinasi lintas negara itu ialah menyelamatkan WNI yang menjadi sandera, seperti yang disampaikan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Namun, Gatot menampik informasi bahwa Pangkalan Utama Tarakan di Kalimantan Utara akan dijadikan pusat operasi pembebasan sandera dengan melibatkan Pasukan Pemukul Reaksi Cepat (PPRC).
“Itu kabar dari mana? Saya tetap koordinasi dengan Panglima (Kepala Staf Angkatan Bersenjata Filipina) Jenderal Irriberi. Tarakan memang punya pangkalan laut dan PPRC di sana sedang melakukan kegiatan setiap tahun,” tuturnya.
Sebelumnya, Komandan Gugus Tempur Laut Wilayah Timur Laksamana Pertama I Nyoman Gede Ariawan yang ditunjuk sebagai pemimpin operasi pembebasan sandera mengatakan pihaknya menyiapkan 5 kapal perang, 1 helikopter, dan pasukan katak. Operasi melibatkan 159 pasukan dari seluruh unsur TNI (Media Indonesia, 30/3).
Sejauh ini pihak militer setempat sedang meneliti faksi mana yang menyandera 10 WNI tersebut.
Pembajakan tongkang Brahma 12 milik PT Patria Maritime Line yang dinakhodai Peter Tosen Barahama dan Anand 12 terjadi pada Sabtu (26/3). Kedua kapal total membawa 7.000 ton batu bara.
Pembajakan terjadi dalam perjalanan dari Sungai Puting, Kalimantan Selatan, menuju Batangas, Filipina Selatan.
Ancam sandera
Kelompok Abu Sayyaf mengancam akan membunuh para sandera WNI jika uang tebusan yang mereka tuntut 50 juta peso (Rp15 miliar) tidak dipenuhi paling lambat 8 April.
Ultimatum itu disampaikan kelompok yang berbasis di Pulau Jojo dan Basial, di bagian barat daya Filipina, itu lewat sebuah video yang mereka unggah di akun Facebook.
Kantor berita terkemuka Filipina, Inquirer, mengidentifikasi ke-10 korban penyanderaan sebagai Peter Tosen Barahama, Julian Philip, Alvian Elvis Peti, Mahmud, Surian Syah, Surianto, Wawan Saputra, Bayu Oktavianto, Reynaldi, dan Wendi Raknadian.
Di samping 10 WNI itu, sejumlah warga Filipina dan mancanegara masih berada di tangan Abu Sayyaf.
Juru bicara Angkatan Bersenjata Filipina (AFP) Brigadir Jenderal Restituto Padilla mengatakan otoritas Filipina dan Indonesia tengah berkoordinasi.
Ia memastikan pihaknya mengerahkan semua upaya yang bisa dilakukan untuk membebaskan sandera.
Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana mengimbau pemerintah tidak mengabulkan tuntutan Abu Sayyaf. “Bukan tidak mungkin di masa mendatang di jalur laut ini pembajakan akan marak. Negara tidak boleh tunduk kepada pembajak,” cetusnya saat dihubungi, tadi malam.
Menurut dia, tindakan yang terlebih dahulu dilakukan pemerintah RI ialah berunding. “Harus disampaikan kepada kelompok Abu Sayyaf bahwa Indonesia negara muslim terbesar. Indonesia banyak melakukan upaya agar terjadi perdamaian antara masyarakat di Mindanao dan Filipina.” (Hym/Beo/Nur/X-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved