Headline
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Buruknya komunikasi picu masalah yang sebetulnya bisa dihindari.
Pemprov DKI Jakarta berupaya agar seni dan tradisi Betawi tetap tumbuh dan hidup.
DALAM mengubah atau memperbaiki sistem hukum, khususnya lembaga pemasyarakatan (LP), tidak bisa lepas dari sistem peradilan pidana secara keseluruhan. Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej menegaskan itu dalam diskusi daring Catatan Akhir Tahun dan Menatap Hukum Akhir Tahun, Selasa (30/12).
Edward menerangkan bila berbicara sistem peradilan pidana cakupannya tidak hanya soal kinerja polisi, kinerja penuntut umum, pengadilan, penasihat hukum dan kinerja LP. Perbaikan sistem peradilan pidana secara keseluruhan berarti harus membangun pola pikir bangsa.
"Mengapa demikian? Saya kasih contoh konkret, masyarakat kita mindsetnya ketika berkaitan dengan kasus pidana, yang mereka mau pelakunya ditangkap dihukum seberat-beratnya. Jadi masyarakat kita termasuk aparat penegak hukum yang ada mindset keadilan retributif, keadilan pembalasan padahal, new paradigms in the world regarding criminolog," cetusnya, Selasa (29/12).
Paradigma baru yang berkaitan dengan hukum pidana secara universal tidak lagi berorientasi pada keadilan retributif tetapi pada keadilan korektif, keadilan restoratif, dan keadilan rehabilitatif. Hal ini akan terjawab saat Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana itu disahkan menjadi KUHP. Sekitar tujuh jenis pidana dan pidana penjara diletakkan paling terakhir.
"Ini kita harus mengubah paradigma masyarakat untuk apa-apa tidak lagi menghukum tapi ada restorasi justice. Restorasi justice dalam pengertian keadilan yang dipulihkan," ucapnya.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah dalam masa pandemi harus menyesuaikan dengan keadaan darurat termasuk persoalan penegak hukum, bahkan hal yang sama juga ditempuh oleh yudikatif.
"Ada beberapa kebijakan pemerintah yang dalam hal ini oleh Menteri Hukum dan HAM memang kebijakan yang menimbulkan kontroversi, tetapi saya harus mengatakan itu adalah kebijakan yang sangat rasional," papar Edward.
Kemenkum dan HAM, sambung dia, harus mengambil risiko yang seminimalkan mungkin, seperti pada awal masa pandemi covid-19 'merumahkan' 32.000 napi.
"Sudah merupakan hal yang tidak terbantahkan bahwa terjadi over kapasitas di lapas. Jadi lapas kita itu hanya bisa menampung 160.000 di lapas kita itu yang ada 270.000, artinya apa, terjadi 110.000 over capacity. Napi yang dirumahkan ini mereka yang berada dalam masa asimilasi," tandasnya. (P-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved