KEBERADAAN calon tunggal dalam Pilkada 2020 menjadi anomali sistem multipartai di Indonesia, yang seharusnya bisa memunculkan persaingan calon kepala daerah yang kompetitif.
Hal itu mengemuka dalam seminar virtual bertajuk Evaluasi Pilkada dan Catatan Perbaikan, Kamis (17/12). Anggota Dewan Pembina Yayasan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai fenomena tersebut tidak sehat bagi iklim demokrasi yang semakin pragmatis.
Menurut catatan Perludem, tren calon tunggal melawan kotak kosong terus meningkat. Pada Pilkada 2015, ada 3 daerah yang memiliki satu calon tunggal. Jumlah itu ternyata mengalami kenaikan. Pada Pilkada 2017, terdapat 9 calon tunggal. Pada 2018 kemudian bertambah jadi 16 calon tunggal. Lalu pada 2020 terdapat 25 calon tunggal.
"Calon tunggal terjadi di daerah yang jumlah pemilihnya besar. Di tengah sistem multipartai, 25 calon tunggal menang tanpa perlawanan berarti. Isu ini timbul tenggelam. Perlu mendapatkan penyelesaian," ujar Titi.
Baca juga: Pragmatisme Parpol Suburkan Calon Tunggal dan Dinasti Politik
Dia pun heran dalam sistem multipartai, yang malah memunculkan calon tunggal. Agar calon tunggal tidak menjadi hegemoni, Titi mengimbau penghapusan ambang batas pencalonan untuk kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Saat ini, syarat ketentuan syarat dukungan kursi DPRD 20-25% dianggap menghambat hadirnya kompetitor atau pesaing lain dalam pilkada. Titi juga menyoroti masalah klasik pada pesta demokrasi, yakni politik dinasti.
Dia pun menyarakan adanya persyaratan khusus sebagai kader partai politik. Seperti, minimal 3 tahun sebelum diusung menjadi calon pemimpin daerah. Tujuannya menghindari calon yang tiba-tiba muncul secara instan.
Baca juga: Mendagri: Kepercayaan Publik pada Pilkada Masih Positif
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan mengakui calon tunggal di 25 kabupaten/kota mayoritas memperoleh suara yang tinggi. Bahkan, ada yang melebihi 90% berdasarkan data rekapitulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Menanggapi fenomena tersebut, dia mendorong agar Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 turut mengatur ketentuan lebih komprehensif, bagi pihak yang mewakili kotak kosong sebagai lawan calon tunggal.
"Bagaimana posisi pihak ang mengampanyekan kolom kosong, UU masih memuat aturan umum," pungkas Abhan.
Senada, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman menyebut pasangan calon yang berkompetisi di daerah cenderung menurun. Pada Pilkada 2020, jumlah calon kepala daerah paling banyak lima pasangan calon, yang ada di 12 daerah. Namun, pasangan calon tunggal secara faktual jumlahnya meningkat.(OL-11)