Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Gaet Milenial, Kampanye Pilkada Rambah Tik tok

Tri Subarkah
22/11/2020 19:10
Gaet Milenial, Kampanye Pilkada Rambah Tik tok
.(AFP)

DIREKTUR Generasi Melek Politik Neildeva Despendya menyebut kampanye pemilihan kepala daerah telah merambah ke media sosial asal Tiongkok, Tik Tok. 

Menurutnya, kampanye melalui Tik Tok menyasar generasi Z, kelompok masyarakat yang lahir dalam rentang waktu 1998-2010.

Neildeva menjelaskan bentuk kampanye di Tik Tok berbeda dengan kampanye konvensional lainnya. Pendekatan yang dipilih mengadaptasi dengan konten-konten yang digandrungi pengguna Tik Tok. 

Oleh sebab itu, peserta Pilkada 2020 tidak mendorong pengguna Tik Tok untuk memilihnya secara gamblang.

"Ketika anak muda itu melihat kampanye yang terlalu (gamblang), 'Pilih Nomor 1 atau pilih Nomor 2,' mereka nggak akan milih. Tapi kalau di Tik Tok, mereka itu banyak akun-akun misalnya kader politik yang (membuat konten khas Tik Tok) Tiga Cara Menjadi Suami Idaman, tapi talent-nya adalah kader politik itu sendiri," jelas Neildeva dalam diskusi daring yang dihelat Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Minggu (22/11).

"Kemarin ada meme dari politisi, tidak perlu saya sebut namanya, dia bikin konten reaction dari salah satu Tiktoker, dan itu banyak banget anak muda yang komen. Jadi itu soft selling, dan anak muda nggak tau itu kampanye politik," sambungnya.

Menurut Neildeva, tim kampanye saat ini lebih kreatif dalam menggaet atensi generasi Z. Bahkan, ia mengatakan bahwa Tik Tok sudah dipersiapkan dari sekarang untuk kampanye di pemilihan umum masa datang.

"Itu new normal buzzer. Apalagi nama-nama di Tik Tok nggak mesti nama asli kayak di Facebook. Itu perlu kita antisipasi dari sekarang," ujar Neildeva.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Fritz Edward Siregar mengibaratkan kampanye di media sosial dengan lautan yang begitu luas. Oleh sebab itu, pengawasannya tidak bisa dilakukan oleh satu lembaga.

Fritz menjelaskan bahwa pihaknya telah bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk mengawasi konten kampanye di internet. Setidaknya, Fritz menemukan tiga bentuk berita bohong atau hoaks yang muncul.

"Ada hoaks yang muncul bahwa pilkada bukan tanggal 9 Desember, tapi dipindahkan tahun 2021, ada hoaks yang menyatakan paslon ini sudah meninggal atau paslon ini sudah berganti," paparnya.

Gerakan Melek Politik bersama kelompok lain yang tergabung dalam Koalisi untuk Etika Media Sosial sendiri telah meluncurkan rumusan pedoman etiket kampanye politik di media sosial untuk Pilkada 2020. Setidaknya, ada sembilan risiko yang paling rentan terjadi.

Selain hoaks yang telah disinggung sebelumnya, delapan risiko lainnya adalah misinformasi yang menyesatkan, perilaku non autentik yang terkoordinasi dengan menggunakan akun palsu/anonim, kampanye hitam untuk merusak reputasi lawan, penggunaan bot atau sistem yang menyimulasikan manusia untuk mengarahkan topik yang sedang tren.

Ada pula soal pemengaruh atau buzzer yang mendorong isu tertentu agar populer, aliran dana kampanye yang tidak transparan, promosi atmosfer polarisasi yang mendorong politik identitas, serta penggunaan akun palsu/anonim.

Komisioner KPU I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi mengatakan pihaknya mengapresiasi Koalisi sebagai bentuk keterlibatan masyarakat dalam mengawal Pilkada 2020. KPU, sebutnya, telah berkomitmen memberikan ruang bagi pasangan calon maupun tim kampanye untuk menyampaikan visi misi program.

"Kami juga sudah menghimpun akun-akun resmi yang didaftarkan oleh tim kampanye kepada KPU. Nah, harapannya tentu akun-akun itu bisa dimanfaatkan secara optimal dalam rangka menyukseskan agenda pilkada, khusunya di tahapan kampanye," tandasnya. (OL-8)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Polycarpus
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik