Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SEJUMLAH kalangan mengkritik rencana pemerintah pusat untuk memekarkan Papua menjadi menjadi lima provinsi. Selain tidak sesuai dengan amanat UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus Papua, rencana ini dianggap sebagai upaya pemerintah pusat untuk memperkuat pengaruhnya di Papua. “Kalau tambah provinsi, sama artinya dengan memperpanjang tangan pusat di daerah dan bukan untuk kesejahteraan masyarakat,” kata kandidat doktor dari University of Birmingham Arie Ruhyanto kepada Media Indonesia, Senin (14/9).
Menurut pengajar di jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM ini, seharusnya pemerintah pusat mendorong penambahan jumlah kabupaten/kota ketimbang provinsi di wilayah paling timur Indonesia tersebut. Pasalnya, ujung tombak pelayanan publik ada di kabupaten/kota dan bukan provinsi. “Otonomi daerah itu kan kekuatannya ada di kabupaten/kota. Sementara provinsi hanya perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah,” jelasnya.
Selain meluaskan cengkeraman, Arie mensinyalir pemekaran provinsi Papua sebagai upaya elite di Jakarta untuk mengeksploitasi sumber daya alam Papua. Pasalnya, provinsi lah yang akan mengeluarkan berbagai izin untuk mengekstraksi sumber daya alam di wilayah tersebut. “Jadi pemekaran ini lebih untuk kepentingan elite ketimbang kesejahteraan masyarakat. Belum lagi nantinya akan dibentuk Kodam baru untuk mengawasi keamanan di sana,” ungkapnya.
Karena itu, Arie mengusulkan agar pemerintah pusat berdiskusi terlebih dulu dengan masyarakat Papua, terutama dari kalangan adat. Apalagi pasal 76 UU Otsus Papua menegaskan apabila pemekaran wilayah harus seizin Majelis Rakyat Papua sebagai representasi masyarakat adat. “Jadi pemerintah juga harus konstitusional,” tegasnya.
Baca juga : Presiden Lantik 20 Duta Besar, Termasuk Suryopratomo
Hal senada, tokoh Papua Paskalis Kossay menyebutkan pemekaran daerah boleh saja dilakukan, namun harus mengikuti prosedur dan mekanisme UU Otsus. “Terutama dari segi persiapan SDM dan proteksi orang asli Papua. Hal ini untuk menjamin OAP sebagai ras Melanesia agar tidak punah,” ujarnya
Berbeda dengan Arie, dirinya tidak keberatan apabila Papua dimekarkan. “Setelah jelas kemudian dimekarkan menjad iberapa provinsi terserah. Yang penting pemerintah tetap mengikuti prosedur perintah UU Otsus,” tegasnya.
Sedangkan Anggota Komisi I DPR RI asal daerah pemilihan Papua, Yan Mandenas menyebutkan, seharusnya pemerintah pusat lebih dulu mendiskusikan kebijakan tersebut dengan elite lokal dan masyarakat Papua sebelum disampaikan ke publik. Ia mengkritik pola komunikasi pemerintah pusat ke Papua yang belum banyak mengalami perubahan yaitu sangat top down. “Padahal, tambahnya, masyarakat dan elite setempat akan setuju dengan kebijakan yang diusulkan pemerintah selama didialogkan terlebih dulu dan bermanfaat untuk kesejahteraan masyarakat,” jelasnya. (P-5)
Tanggung jawab yang melekat pada para pemimpin daerah hasil Pilkada di Pulau Papua adalah untuk kesejahteraan rakyat.
Dia mendesak hal ini karena sudah terlalu lama terjadi kekosongan Anggota MRP, padahal keberadaan lembaga ini sangat strategis. Apalagi dalam rangka Pemilihan Umum 2024.
ANGGOTA DPR Provinsi Papua Boy Markus Dawir mendesak Menteri Dalam Negeri untuk segera melantik anggota Majelis Rakyat Papua (MRP) terpilih periode 2023-2028.
Perubahan UU Otsus juga diterbitkan seperangkat peraturan pemerintah dan peraturan presiden sebagai penjabaran dari UU No 2 Tahun 2021.
Menurut Mahkamah, perubahan UU Otsus Provinsi Papua dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum, melindungi, menjunjung harkat martabat dan melindungi hak dasar orang asli Papua
"Kami punya satu UU payung hukum yang besar adalah UU Otsus maka ada lex spesialis itu yang harus menjadi patokan kita di Papua."
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved