Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
TREN putusan pengurangan hukuman koruptor kembali terjadi di tingkat Mahkamah Agung (MA). Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menilai ada pergeseran komitmen antikorupsi para hakim agung di MA.
"Hakim agung sudah bergeser komitmen antikorupsinya. Hal ini bisa terjadi salah satu sebabnya tidak ada lagi figur yang disegani untuk tetap menghukum koruptor dengan hukuman tinggi agar ada efek jeranya sejak hakim Artidjo Alkostar pensiun," kata Abdul Fickar, di Jakarta, Kamis (10/9).
Pernyataan itu menanggapi putusan PK terbaru yang dikeluarkan MA dalam perkara yang menjerat mantan Walikota Cilegon Tubagus Iman Ariyadi terkait suap pengurusan izin AMDAL di kawasan industri Cilegon. MA mengurangi hukuman Tubagus menjadi empat tahun penjara dari sebelumnya enam tahun.
Sebelumnya, MA melalui putusan PK juga mengurangi pidana mantan Bupati Kepulauan Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip menjadi dua tahun penjara. Di pengadilan tingkat pertama, hukuman yang dijatuhi kepada Sri Wahyumi empat tahun enam bulan penjara.
Baca juga : KPK Prihatin Tren Diskon Hukuman Koruptor Terus Terjadi
Abdul Fickar mengatakan belum lama ini MA telah mengeluarkan Perma Nomor 1 Tahun 2020 tentang Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ia menilai Perma tersebut belum efektif dijalankan. Menurutnya, Perma itu dalam prakteknya belum bisa mengatasi disparitas hukuman dan menjamin efek jera bagi koruptor.
"Mestinya ada aturan yang bersifat sistemik yang bisa mengikat komitmen para hakim. Namun ternyata meski sudah ada Perma yang mengatur pedoman pemidanaan koruptor, ternyata tidak menjadi obat ampuh mempertahankan komitmen itu," imbuhnya.
Abdul Fikcar menilai belum efektifnya Perma lantaran ada anggapan pedoman itu mengintervensi kebebasan hakim agung dalam memutus perkara. Menurutnya, MA juga kesulitan untuk membuat pedoman itu mengikat kepada para hakim agung.
"Ironis memang. Meskipun para hakim agung tidak protes keberatan secara terbuka, ternyata yang terjadi Perma itu diabaikan karena dianggap mengintervensi kebebasan para hakim agung," tukasnya. (P-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved