Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Penyadapan Aktivis Tunjukkan Urgensi Undang-Undang Privasi

Micom
01/7/2020 20:20
Penyadapan Aktivis Tunjukkan Urgensi Undang-Undang Privasi
Politikus Partai NasDem Willy Aditya.(MI/SUSANTO)

SEJUMLAH massa memberitakan dugaan penyadapan aktivis menggunakan teknologi Pegasus. Aktivis hak asasi manusia (HAM) ramai-ramai bereaksi terhadap teknologi yang konon digunakan negara untuk memonitor dan memantau warga negara. Pegasus diduga menyusupkan malware yang meretas ponsel untuk melakukan penyadapan.

Anggota Komisi I DPR Willy Aditya mengatakan dalam kerangka pertahanan dan keamanan di negara mana pun pasti akan melakukan aktivitas intelijen. Karena itulah menurutnya ada pengaturan aktivitas intelijen negara melalui Undang-Undang Intelijen Negara No 17 Tahun 2011. 

Walau demikian UU Intelijen Negara belum cukup detail memberi batasan dan ketegasan berkenaan dengan syarat yang harus dipenuhi untuk melakukan penyadapan. Di sini UU Hak Privasi diperlukan untuk menjamin hak privasi warga terlindungi.

“Kalau dibandingkan dengan Google, Facebook dan platform digital lainnya, UU Intelijen itu bahkan kalah berdaya. Dengan penetrasi internet dan telepon yang makin meluas, penyadapan besar-besaran nyatanya justru dilakukan bukan oleh negara. Bahkan warga seperti dengan 'sukarela' bersedia disadap. Kalau Pegasus butuh trigger malware, platform digital justru dengan seperti sukarela warga menyerahkan diri untuk disadap. Saya kira penting untuk mengusulkan RUU Hak Privasi untuk menjamin pelindungan warga negara,” kata Willy dalam siaran pers, Rabu (1/7).

Politikus Partai NasDem ini menjelaskan sejak 2014 DPR sudah memiliki peraturan tentang Tim Pengawas Intelijen untuk mengawasi kepatutan pelaksanaan intelijen negara. Hal ini menjadi salah satu medium untuk menjaga akuntabilitas pelaksanaan fungsi intelijen negara. 

“Kalau ada penyimpangan yang dilakukan oleh intelijen negara maka tim pengawas DPR Ini akan bekerja dan hasil kerjanya akan menjadi penilaian oleh Komisi I DPR. Pengawasan intelijen oleh DPR ini sebagai bagaian dari pelaksanaan hak anggota DPR,” ucapnya.  

Dia menambahkan kontroversi penggunaan teknologi Pegasus dan lainnya dengan menyebarkan malware untuk melakukan penyadapan pada dasarnya dapat dibentengi dengan kesadaran warga untuk selalu awas dalam penggunaan teknologinya. Dia berpendapat, teknologi akan terus berkembang dan akan makin beragam, maka perlu consent yang tegas dari penyedia teknologi bagi penggunanya. 

“Kalau meributkan teknologinya tidak akan habis-habis. UU Intelijen pun melindungi teknologi yang digunakannya. Persoalannya adalah bagaimana hak warga negara dimajukan dan dijamin oleh undang-undang. DPR saat ini sedang bahas RUU Pelindungan Data Pribadi. Ada concept dan consent data pribadi sebagai bagian hak privasi yang akan dilindungi. Ini bisa menjadi titik masuk kita untuk pengaturan lebih besar tentang UU Hak Privasi."

Alumni ITB-Cranfield dalam manajemen pertahanan ini menegaskan bahwa malware atau trigger apa pun akan mudah lolos jika publik tidak memiliki pilihan untuk menolaknya. Karena itu undang-undang perlu menegaskan bahwa peretasan data pribadi yang salah satunya adalah data prilaku dan mobilitas merupakan sebuah kejahatan atas hak privasi.

“Rezim rahasia negara dan rejim keterbukaan informasi harus kita seimbangkan dalam menjamin hak privasi warga setinggi-tinginya. Kalau segala macam penyadapan dilakukan atas nama rahasia negara, maka harus ada batasan keterbukaan yang juga perlu dijamin. Peluang itu ada di dalam pembahasan RUU Pelindungan Data pribadi. Tidak semua informasi negara harus dibuka ke publik namun juga jangan semua berlindung di balik rahasia negara,” pungkasnya. (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik