Headline
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.
Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.
KOMISI Kejaksaan RI didesak menyikapi persidangan penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan. Jaksa penuntut umum (JPU) dinilai salah jalur.
“Jaksa sebenarnya mempunyai kewenangan yang besar untuk menuntut para terdakwa, terlepas terdakwa mengakui atau menolak dakwaan, ini kok malah jaksa jadi pembela,” kata pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar kepada Medcom.id, kemarin.
Fickar menyayangkan lemahnya tuntutan jaksa terhadap penyerang Novel Baswedan, Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette. “Jika perkara ini lolos, akan menjadi lembaran hitam peradilan Indonesia. Jika JPU tidak amanah, secara sistemis sulit untuk mengontrol, kecuali atasannya.”
Menurut dia, hanya Komisi Kejaksaan RI yang bisa bertindak. Novel sebagai korban sekalipun tidak bisa komplain jika pelaku dihukum ringan. Pasalnya, banding hanya bisa dilakukan jaksa.
Otoritas pengawas jaksa itu diminta tegas jika terbukti ada penyelewengan di persidangan itu.
“Ini ada kemungkinan dijadikan komoditas oleh penuntut umum yang mempunyai kewenangan sehingga potensi mempermainkannya sangat besar,” tutur Fickar.
Sebelumnya, jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Ronny Bugis dan Rahmat Kadir hukuman satu tahun penjara. Kedua terdakwa yang ketika menyerang Novel, merupakan anggota aktif kepolisian dinilai terbukti menganiaya secara terencana dan mengakibatkan lukaluka berat.
Meski begitu, JPU menuntut ringan karena terdakwa merasa bersalah. Jaksa menilai keduanya hanya berniat memberi pelajaran kepada Novel dengan menyiram air keras, tetapi tidak sengaja melukai matanya.
Kendati tuntutan jaksa ringan, Fickar mengatakan secara yuridis, hakim bisa saja menjatuhkan hukuman lebih berat kepada terdakwa.
“Besarnya putusan didasarkan pada ancaman maksimal ketentuan pasal yang dilanggar, bukan pada tuntutan jaksa,” tutur Fickar.
Pada persidangan Senin (15/6), penasihat hukum Rahmat membacakan nota pembelaan (pleidoi) kedua terdakwa. Tim penasihat hukum berdalih kliennya tidak bermaksud untuk mencelakai Novel hingga menimbulkan luka.
Aksi penyiraman yang terjadi pada Selasa dini hari, 11 April 2017, disebut cuma rasa benci yang timbul secara spontan karena Novel dianggap telah melupakan institusi Polri. (Medcom/P-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved