Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Ada Moral Hazard di Riset Nasional

Dhika Kusuma Winata
17/6/2020 07:40
Ada Moral Hazard di Riset Nasional
Menteri Riset dan Teknologi/Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Bambang Brodjonegoro (kiri).(ANTARA FOTO/MUHAMMAD ADIMAJA)

KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan pengelolaan dana riset nasional diselimuti masalah inefisiensi. Dana penelitian yang secara nasional tergolong kecil ditambah tidak adanya koordinasi lembaga riset yang tersebar di kementerian/lembaga serta perguruan tinggi dinilai mengakibatkan anggaran penelitian tidak efektif.

“Tidak ada arah yang jelas ke mana arah penelitian akan dikembangkan. Kalau tidak ada arah yang jelas tentu sumbangsih dan kegunaannya bagi kemajuan Indonesia tentunya semakin suram,” kata Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam jumpa pers bersama Menristek/Kepala BRIN Bambang Brodjonegoro terkait kajian komisi tentang pengelolaan dana penelitian Indonesia di Gedung KPK, Jakarta, kemarin.

Nurul Ghufron mengurai beragamnya institusi riset di Indonesia, yaitu mulai perguruan tinggi (PTN, PTS, dan Perguruan Tinggi Islam), badan litbang di kementerian/ lembaga di pusat, seperti BPPT, LIPI, Batan, dan Lapan, hingga pemerintah daerah. Seluruh institusi melakukan penelitian dengan anggaran dan sumber daya manusia (SDM) masing-masing, tetapi minim integrasi dan koordinasi.

Kajian KPK menilai anggaran penelitian di Indonesia sangat rendah. Saat ini dana riset secara nasional hanya mencapai 0,28% dari produk domestik bruto (PDB). *Jika dibandingkan dengan negaranegara lain, alokasi dana penelitian di Tanah Air masih tertinggal. Misalnya, dana riset di Filipina 0,82% PDB, Jepang 1,3%, dan Amerika Serikat pada tingkat 4%. Adapun tingkat ideal di banyak negara, yakni minimal 1% dari PDB.

Kajian KPK juga menyoroti minim nya dana riset berkaitan dengan pelaku bidang penelitian di Indonesia yang minim dari swasta.

Sebanyak 84% anggaran riset didominasi berasal dari pemerintah dan hanya 16% oleh swasta. KPK menyebut kecenderungan negara- negara lain lebih dari 50% riset dilakukan swasta.

Nurul Ghufron menjelaskan kajian komisi juga menemukan motivasi penelitian di kementerian/lembaga cenderung pada sekadar penyerapan anggaran yang tersedia.

Adapun perguruan tinggi, imbuh Ghufron, riset lebih banyak dilakukan untuk pemenuhan angka kredit dan jurnal penelitian.


Penelitian fiktif

KPK juga mendapati adanya laporan pengaduan masyarakat terkait penelitian fiktif, tumpang-tindih pemotongan berupa management fee, pemberian dan penggunaan tidak sesuai ketentuan, serta pengendapan dana penelitian.

Menurut Ghufron, indikasi penyimpangan itu bisa menimbulkan moral hazard bagi peneliti maupun lembaganya. KPK selanjutnya merekomendasikan penguatan Kemenristek/BRIN menjadi lembaga yang mengoordinasikan penelitian nasional. Selain itu, perlu perbaikan tata kelola anggaran penelitian dan penetapan standar output riset.

Terkait dengan efektivitas anggaran, KPK merekomendasikan agar kementerian menyusun penandaan anggaran dalam APBN seperti pada penandaan anggaran pendidikan yang ditetapkan 20%.

KPK juga menyarankan organisasi profesi bekerja sama dengan instansi pembina peneliti menerbitkan kode etik dan mekanisme penegakannya untuk mencegah potensi moral hazard.

Menristek/ Kepala Badan Riset dan Inovasi (BRIN) Bambang Brodjonegoro menyambut positif rekomendasi KPK. “Saya setuju. Jangan sampai riset hanya untuk menghabiskan anggaran. Riset seharusnya untuk menjawab kebutuhan masyarakat. Seperti saat pandemi covid-19, riset diprioritaskan untuk menghasilkan produk yang mampu menjawab kebutuhan tenaga medis dan pasien, seperti rapid test, ventilator, lab mobile, dan juga vaksin,” tuturnya. (P-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya