Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
MAHKAMAH Agung (MA) secara resmi membatalkan kebijakan penaikan iuran BPJS setelah mengabulkan judicial review terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang menjadi dasar hukum kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100%.
Dengan mengabulkan judicial review tersebut, maka kebijakan terkait jaminan kesehatan kembali pada Perpres Nomor 82 tahun 2018 alias tidak mengalami kenaikan.
Baca juga:Pembatalan Penaikan Tarif Pengaruhi Keberlanjutan BPJS
Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah menjelaskan, penerbitan objek hukum tersebut tidak memenuhi rasa keadilan.
"Artinya tidak mempertimbangkan dahulu kemampuan dan beban hidup yang layak yang harus ditanggung oleh masyarakat," ungkapnya di Kantor MA, Jakarta, Selasa (10/3).
Dijelaskannya, saat ini kemampuan masyarakat khususnya untuk golongan menengah ke bawah dinilai belum meningkat. Hal itu tentu menambah beban bagi masyarakat apabila iuran BPJS naik hingga 100%. Apalagi kualitas pelayanan sendiri juga belum maksimal.
"Kenaikan iuran dilakukan saat ini, di saat kemampuan masyarakat tidak meningkat, namun justru beban hidup meningkat. Bahkan tanpa diimbangi dengan perbaikan kualitas pelayanan dan kualitas kesehatan yang diperoleh dari BPJS," tuturnya.
Baca juga:Pemerintah Cermati Dampak Putusan MA
Selain itu, jaminan kesehatan menurutnya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus diwujudkan negara. Hal itu sesuai cita-cita pendiri bangsa yang sudah tertuang dalam UUD 45.
"Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam pemberian kesehatan sebagai upaya melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yan berkualutas dan terjangkau oleh masyarakat," kata Abdullah.
"Seyogyanya negara sebagai pelaku kebijakan bertindak lebih bijak di mana anggaran kesehatan yang mendapat porsi 5% dari APBN dapat diprioritaskan untuk mendapat porsi yang lebih besar guna mngurangi beban rakyat," tambanya.
Adapun, MA menolak Pasal 32 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perubahan tersebut bertentangan dengan ketentuan perudang-undangan yang lebih tinggi yakni Pasal 34a, 28a, 34 UUD 45, Pasal 2, Pasal 4b, c, d, Pasal 17 ayat 3 UUD No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Baca juga: Defisit BPJS Kesehatan Harus Dicarikan Solusi
Kemudian Pasal 2, 3, 4b, c, d, e UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial serta Pasal 4 dan Pasal 5 ayat 2 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
"Kemudian menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres 82 Tahun 2018 tentang jaminan kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan permohonan pemohon ditolak untuk selebihnya memerintahkan kepada panitera MA untuk mengirimkan petikan putusan kepada percetakan negara untuk dicantumkan dalam berita negara diumumkan pada publik," pungkasnya. (Van/A-3)
PAKAR hukum pidana Universitas Trisaksi Abdul Fickar Hadjar menyoroti diskon hukuman terhadap Setya Novanto dan tuntutan ringan atau tak maksimal kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.
PENGACARA Setya Novanto (Setnov), Maqdir Ismail membeberkan bukti baru yang meringankan hukuman menjadi 12,5 tahun penjara, dari sebelumnya 15 tahun yakni keterarangan FBI
MAHKAMAH Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) dan mengurangi hukuman mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dalam kasus korupsi pengadaan E-KTP.
MAKI menyayangkan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) dan mengurangi hukuman mantan Ketua DPR Setya Novanto (Setnov) dalam kasus korupsi pengadaan E-KTP.
Putusan hakim tidak boleh diganggu gugat dalam sebuah persidangan. Namun, KPK menyoroti pemberian efek jera atas penyunatan hukuman untuk terpidana kasus korupsi pengadaan KTP-E itu.
KUBU Setnov mengaku tidak puas dengan putusan peninjauan kembali yang memangkas hukuman menjadi penjara 12 tahun enam bulan, dari sebelumnya 15 tahun. Setnov dinilai pantas bebas.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved