Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Iuran BPJS Naik, Mahkamah Agung: Pemerintah Bebani Masyarakat!

Faustinus Nua
10/3/2020 15:05
Iuran BPJS Naik, Mahkamah Agung: Pemerintah Bebani Masyarakat!
Kantor Pelayanan Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Senin (9/3/2020).(Antara)

MAHKAMAH Agung (MA) secara resmi membatalkan kebijakan penaikan iuran BPJS setelah mengabulkan judicial review terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan yang menjadi dasar hukum kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100%.

Dengan mengabulkan judicial review tersebut, maka kebijakan terkait jaminan kesehatan kembali pada Perpres Nomor 82 tahun 2018 alias tidak mengalami kenaikan.

Baca juga:Pembatalan Penaikan Tarif Pengaruhi Keberlanjutan BPJS

Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Abdullah menjelaskan, penerbitan objek hukum tersebut tidak memenuhi rasa keadilan.

"Artinya tidak mempertimbangkan dahulu kemampuan dan beban hidup yang layak yang harus ditanggung oleh masyarakat," ungkapnya di Kantor MA, Jakarta, Selasa (10/3).

Dijelaskannya, saat ini kemampuan masyarakat khususnya untuk golongan menengah ke bawah dinilai belum meningkat. Hal itu tentu menambah beban bagi masyarakat apabila iuran BPJS naik hingga 100%. Apalagi kualitas pelayanan sendiri juga belum maksimal.

"Kenaikan iuran dilakukan saat ini, di saat kemampuan masyarakat tidak meningkat, namun justru beban hidup meningkat. Bahkan tanpa diimbangi dengan perbaikan kualitas pelayanan dan kualitas kesehatan yang diperoleh dari BPJS," tuturnya.

Baca juga:Pemerintah Cermati Dampak Putusan MA

Selain itu, jaminan kesehatan menurutnya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang harus diwujudkan negara. Hal itu sesuai cita-cita pendiri bangsa yang sudah tertuang dalam UUD 45.

"Kesehatan sebagai hak asasi manusia harus diwujudkan dalam pemberian kesehatan sebagai upaya melalui penyelenggaraan pembangunan kesehatan yan berkualutas dan terjangkau oleh masyarakat," kata Abdullah.

"Seyogyanya negara sebagai pelaku kebijakan bertindak lebih bijak di mana anggaran kesehatan yang mendapat porsi 5% dari APBN dapat diprioritaskan untuk mendapat porsi yang lebih besar guna mngurangi beban rakyat," tambanya.

Adapun, MA menolak Pasal 32 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Perubahan tersebut bertentangan dengan ketentuan perudang-undangan yang lebih tinggi yakni Pasal 34a, 28a, 34 UUD 45, Pasal 2, Pasal 4b, c, d, Pasal 17 ayat 3 UUD No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Baca juga: Defisit BPJS Kesehatan Harus Dicarikan Solusi

Kemudian Pasal 2, 3, 4b, c, d, e UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial serta Pasal 4 dan Pasal 5 ayat 2 UU No 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

"Kemudian menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres 82 Tahun 2018 tentang jaminan kesehatan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyatakan permohonan pemohon ditolak untuk selebihnya memerintahkan kepada panitera MA untuk mengirimkan petikan putusan kepada percetakan negara untuk dicantumkan dalam berita negara diumumkan pada publik," pungkasnya. (Van/A-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Irvan Sihombing
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik