MEDIA tradisional memperoleh angin segar dengan meningkatnya tingkat kepercayaan publik. Bak mercusuar, praktik jurnalistik dengan metodologi ketat membuat media tersebut menjadi pegangan publik untuk mendapatkan informasi tepercaya.
Ketua Dewan Pertimbangan Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Imam Wahyudi mengemukakan hal tersebut seusai diskusi refleksi akhir tahun IJTI bertajuk Kebebasan Pers, Disrupsi, dan Tantangan Jurnalis TV di Gedung Dewan Pers, Jakarta, kemarin.
“Kalau lihat Edelman Trust Barometer (2019), tren media tradisional sempat turun di 2015, kemudian mulai naik dan sekarang naik lagi di 2019,” terang Imam.
Berdasarkan data Edelman Trust Barometer 2019, tingkat kepercayaan pada media tradisional meningkat dari 63 poin pada 2018 menjadi 65 pada 2019. Tiga tahun sebelumnya, media tradisional sempat terpuruk pada 2015-2017 dengan 58, 59, dan 58 poin. Bahkan, pada tahun ini berada pada level yang sama dengan mesin pencari.
Perubahan itu, menurut Imam, dilandasi kembalinya kepercayaan publik setelah sempat anjlok gara-gara hoaks.
“Itu menunjukkan bahwa orang tadinya kecewa mungkin dengan media tradisional yang mungkin ikut-ikutan dan menyebarkan hoaks. Kan itu banyak dulu, apalagi menjelang pemilu dan saat pemilu, pilkada dan sebagainya,” lanjutnya.
Menurut Imam, di tengah banjir informasi, publik ingin mendapatkan pegangan informasi yang benar. “Yang bisa melakukan itu sebenarnya hanya jurnalisme.”
Ia menegaskan tidak sepatutnya jurnalisme mengorbankan prinsip verifikasi hanya untuk mengejar kecepatan. Hal itu disebabkan verifikasi adalah nyawa jurnalisme.
Ancaman
Dalam upaya menjaga kredibilitas dan kepercayaan publik, pers dihadapkan pada ancaman. Ketua Umum IJTI Yadi Hendriana mengungkapkan adanya 10 pasal dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang mengancam kebebasan pers.
“IJTI secara konsisten dan tegas menolak revisi sejumlah pasal dalam RKUHP yang mengancam kebebasan pers,” tegas Yadi.
Kesepuluh pasal meliputi Pasal 219 tentang penghinaan kepala negara, Pasal 263 tentang berita tidak pasti, Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah, Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan, dan Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa.
Selanjutnya, Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama, Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong, Pasal 354 tentang penghinaan terhadap lembaga negara, Pasal 440 tentang pencemaran nama baik, dan Pasal 445 tentang pencemaran orang mati.
Yadi mencontohkan Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan dalam meliput pengadilan. “Kalau seandainya, konteksnya dipelesetkan oleh seorang hakim, seseorang yang menyimpan kamera, kemudian kameranya dianggap oleh mereka mengganggu, hakim tersebut bisa melaporkan, dan teman-teman bisa kena delik dalam KUHP,” ujarnya.
Menurut Yadi, ke-10 pasal itu akan memunculkan beberapa dampak. Pers kehilangan daya kritis, KUHP akan digunakan penguasa untuk melegitimasi semua kebijakan, publik takut mengkritik penguasa, dan demokrasi akan hilang. (P-2)