Headline

Konsistensi penegakan hukum perlindungan anak masih jadi tantangan

Fokus

Di Indonesia, cukai rokok sulit sekali naik, apalagi pada tahun politik.

Caleg di Tengah Kepungan Isu Capres

Akmal Fauzi
27/1/2019 07:30
Caleg di Tengah Kepungan Isu Capres
(MI/Susanto)

KURANG dari tiga bulan, Pemilu serentak 2019 digelar. Tanggal 17 April ialah hari untuk menentukan pilihan wakil rakyat di parlemen tingkat daerah dan pusat, Dewan Perwakilan Daerah, hingga presiden dan wakil presiden.

Sejumlah calon anggota legislatif harap-harap cemas.

Soalnya hiruk-pikuk kampanye Pemilihan Presiden 2019 dengan peserta calon presiden dan calon wakil presiden nomor 01 (Joko Widodo-Ma’ruf Amin) dan 02 (Prabowo Subianto-Sandiaga Uno), lebih mendominasi ruang dan diskursus publik.

Namun, sejumkah caleg mengaku pantang mundur.

Rian Ernest, caleg DPR daerah pemilihan DKI Jakarta I (Jakarta Timur) dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), mengerahkan segala jurus kampanye, mulai cara konvensional melalui alat peraga kampanye (spanduk, poster, dsb), media sosial, dan door to door alias blusukan ke masyarakat di dapil.

Mantan Staf Ahli Hukum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama ini memang harus bekerja keras siang-malam. Maklum, dirinya dan partainya pendatang baru dalam jagat perpolitikan di Tanah Air.

“Semua metode harus dilakukan. Namun, sekarang saya fokus ke konvensional, pasang spanduk dan turun ke lapangan,” kata Ernest saat dihubungi kemarin.
Ia mengaku, sejak enam bulan lalu, sudah memasang sekitar 1.000 lebih spanduk di beberapa titik.

Senada, Lusyani Suwandi caleg DPR dari Partai NasDem dapil Provinsi Bangka Belitung mengatakan dirinya lebih mengandalkan APK untuk berkampanye ketimbang medsos. “Dengan APK, kita bisa door to door berkampaye,” kata Wakil Bendahara Partai NasDem ini.

Hal berbeda justru dilakukan Anggiasari Puji Aryatie, caleg DPR dapil Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dari Partai NasDem. Anggia lebih memanfaatkan media sosial sebagai metode kampanye yang dilakukan. “Sebanyak 60% media sosial, 40% spanduk atau baliho,” kata Anggia.

Tak tergantikan
Pakar komunikasi politik Gun Gun Heryanto berpendapat strategi kampanye konvensional menggunakan alat peraga dan pendekatan door to door atau blusukan hingga saat ini tidak tergantikan dengan kampanye digital melalui media sosial.

“Untuk di perkotaan, strategi mig­rasi kampanye ke digital relevan karena media habit masyarakat tinggi, tetapi tidak mungkin menafikan pendekatan konvensional, seperti datang ke rumah-rumah atau blusukan,” ungkap Gun Gun saat dihubungi kemarin.

Dia menawarkan kampanye ber­ba­sis komunitas. “Kampanye berbasis komunitas itu bisa dijalankan dengan menciptakan hubungan intensif dengan para calon pemilih di akar rumput. Mereka perlu membangun pemberdayaan komunitas dan pelayanan komunitas,” jelas Gun Gun.

Pakar komunikasi politik Lely Aryani mengatakan, selain metode konvensional dan media sosial, perlu aspek lain yang menunjang keterikat­an publik dengan para politisi. “Salah satu faktor penting, yakni kekuatan interpersonal dengan memanfaatkan tatap muka dengan publik,” katanya.

Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochammad Afifuddin mengatakan pihaknya bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi untuk mengawasi kampanye.

“Kami bekerja sama dengan Kemenkominfo untuk taking down akun yang melakukan ujaran kebencian dan menyebar hoaks,” kata Afifuddin. (Dhk/Faj/RF/X-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Riky Wismiron
Berita Lainnya