Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
POLITIK identitas berbasis SARA merupakan salah satu hal yang dapat menghancurkan kedaulatan suatu bangsa. Rwanda menjadi salah satu negara yang menjadi korban permainan politik identitas dan SARA.
Saat ini di Indonesia, politik identitas dan SARA semakin kencang digunakan untuk meraup keuntungan elektoral. Meski diyakini tak akan menimbulkan kekacauan seperti yang dialami Rwanda, politik identitas dan SARA dikhawatirkan akan dapat terus menimbulkan perpecahan di tubuh masyarakat Indonesia.
Ketua Fraksi NasDem di DPR RI, Ahmad HM Ali, berharap Indonesia tak mengalami kehancuran karena politik identitas berbasis SARA. Indonesia memang bukan Rwanda yang mengalami kehancuran akibat isu SARA. Namun, sejumlah kemiripan kondisi disampaikannya telah menampakkan rupa atas figur, fitur, teknologi media massa, hinaan dan ujaran kebencian.
"Kendati memegang peranan yang penting, tetapi agama bukan satu-satunya dasar klasifikasi dan kategori yang serba melampaui segala hal lainnya," ujar Ali, dalam keterangan tertulisnya, Jumat, (4/1).
Baca juga: Penyebar Hoaks Surat Suara Terancam 10 Tahun Penjara
Ia menambahkan, ada identitas dan dasar klasifikasi lain yang tak kalah penting seperti kebangsaan, kelas, status sosial, pekerjaan, atau ideologi politik. Masalahnya, benturan antar peradaban mereduksi identitas dan kategori lain.
"Problem serius mengemuka tatkala provokasi identitas tunggal dan serba mutlak ini bertemu dan jalin kelindan dengan politik," ujar Ali.
Di tangan para petualang politik, politik identitas dan SARA kemudian beralih rupa menjadi instrumen mematikan dan jalan pintas merebut kekuasaan. Isu identitas SARA dilambungkan untuk memuluskan kepentingan politik.
Selain dikhawatirkan berdampak pada tragedi, Ali menilai setidaknya dua hal mendasar dipertaruhkan sebagai korban pada altar tak suci politik identitas ini. Pertama, robohnya sendi dasar kebangsaan kita.
“Negara-Bangsa Indonesia dibangun di atas kesadaran akan keberagaman. Kesadaran akan keberagaman itulah yang mendasari para pendiri bangsa memilih Bhineka Tunggal Ika sebagai motto dan salah satu pilar negara-bangsa Indonesia, sebuah dasar kebangsaan yang tidak hanya akomodatif, namun terbukti visioner,” ujar Ali.
Kedua, berupa matinya politik gagasan. Menguatnya politik identitas akan menjadi insentif dan imperatif bagi tumbuh suburnya iklim politik yang tak lagi mementingkan pengajuan politik gagasan untuk merawat dan memajukan kehidupan bersama. Baik oleh aktor-aktor politik, partai-partai politik, dan publik itu sendiri.
“Program politik yang rasional dan terukur dikesampingkan, digantikan oleh isu-isu identitas yang tak memiliki korelasi struktural kuat atas problem kemiskinan, kesenjangan dan diskriminasi dalam kehidupan publik. Indonesia tidak perlu bernasib seperti Rwanda," ujar Ali. (OL-3)
Surat dari DPP PDIP dibutuhkan untuk menyelesaikan perbedaan tafsir terkait penetapan caleg yang sudah meninggal pada Pamilu 2019. Dia juga menjelaskan surat balasan dari MA.
Yasonna keluar dari Gedung Merah Putih KPK sekitar pukul 16.45 WIB. Jalur pulang dia berbeda dengan saksi lainnya.
Sidang akan digelar pada hari Senin (24/2) pukul 13.30 WIB di Kantor Bawaslu Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan.
Selain itu, Jokowi mengatakan, NasDem selalu konsisten mendukung dirinya saat bersama Jusuf Kalla maupun kini dengan KH Ma'ruf Amin.
Revisi UU Pemilu perlu disegerakan agar penyelenggara pemilu mempunyai waktu yang cukup dalam melakukan proses sosialisasi dan tahapan Pemilu 2024.
Peserta sekolah legislatif akan mendapatkan berbagai materi pelajaran tentang kedewanan sebanyak 40%, kepartaian 30%, dan pembangunan karakter 30%
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved